Saturday, May 11, 2019

RUANG POLITIK KITA UNTUK PEMULA DAN OPINI


RUANG Politik Kita untuk PEMULA
M IQBAL LAWEUENG*

COBA ini dipikirkan lagi secara mendalam: mengapa politik harus selalu kita hubungkan dengan hal-hal besar atau yang berat-berat? Ketika menanyakan apa isi politik sebenarnya, siapa yang bertempat di dalamnya, lazimnya orang-orang menunjuk ke depan. Bukan mengacungkan jari telunjuknya ke atas, bukan ke arahnya sendiri.
Goenawan Mohamad meyakini: “Politik tak bisa dikurung di satu tempat. Politik tak hanya berkisar di sejumlah lembaga. Bahkan partai, parlemen, dan pemerintahan bukanlah ruang dan waktu politik yang sebenarnya” (“Representasi”, Tempo, 2/10/2011). Faktanya, politik melulu dirujuk pada aktivitas elite-elite politik. Jadinya: politik adalah “mereka”.
Kehidupan terdiri dari bermacam “kamar”: politik, ekonomi, budaya, agama, olahraga, pendidikan, seksual, dan sebagainya. Semuanya saling terhubung. Segenap aktivitas manusia tak lepas dari “kamar politik”. Tiada hal yang tak berhubungan dengan politik. Sandal jepit, baju kaus, rokok, pistol air, hingga tusuk gigi adalah komoditi-komoditi yang diproduksi dalam “kamar ekonomi”.
Karena negara (institusi politik induk) mengenakan pajak untuk setiap komoditi yang dipasarkan, maka politik pun terkandung di tusuk gigi. Itulah politik negara. Jadi, bagi setiap orang, “ruang dan waktu politik yang sebenarnya” berkaitan dengan aneka dinamika dalam “kamar hidup” yang ditempatinya.
Yang kita alami, makan, gunakan, dan lakukan adalah realitas politik dalam lingkup “kamar hidup” kita sendiri. “Politik saya” terbentuk ketika seseorang “saya” (individu) sadar bahwa politik, bagi dirinya sendiri, adalah realitas-realitas kecil yang berkisar di kehidupan sehari-harinya sendiri.
Aktivitas sehari-harinya adalah “politik diri”. Politik tak dipandang sebagai “kamar” segelintir pihak saja. Tanpa perlu memasuki “ruang politik praktis”, seseorang tetap memiliki “kamar politik” sendiri. Semua orang memiliki politik. Dari sinilah “saya” akan menggerakkan, mengubah, mempertahankan, dan mengembangkan kehidupannya sebelum membentuk “politik kita”.
Jika kemudian “saya” berasosiasi dengan banyak “saya” lainnya atas dasar kesamaan nasib, maka kemudian membentuk “kita” (komunitas). Lantas, “politik saya” menjadi “politik kita”. Tindak lanjutnya: “saya” kemudian berupaya agar hal-hal yang dialaminya terjadi/tidak terjadi pada “kita”. Filsuf Niccolo Machiavelli percaya, “Rakyat menjadi kuat jika bersatu, tetapi lemah sebagai individu-individu”. Partisipasi bersama pun tercipta.
Jika ada “kita” yang menempati “kamar olahraga”, khususnya sepak bola, misalnya, “politik kita” digunakan untuk mendesak pemerintah kota agar melanjutkan turnamen sepak bola U-21 yang dilangsungkan cuma sampai babak penyisihan grup. “Politik kita” memperjuangkan nasib semua tim yang berambisi jadi juara.
“Politik kita” menuntut pemerintah menuntaskan kompetisi. “Politik kita” digunakan untuk menentang wali kota yang tak peduli pembinaan atlet muda. Kesadaran kritis yang muncul kemudian mempertanyakan: dikemanakan dana kompetisi tersebut, diendap atau ditilap? Dengan “politik kita”, pemerintah dituntut terbuka kepada publik.
“Politik kita” juga upaya memberdayakan, mengatur, dan melindungi diri bersama komunitas dari rongrongan “politik mereka”. Karena “kita” tak mampu mengubah Yahudi, maka “politik kita” harus memastikan bahwa Yahudi juga tak mampu mengubah “kita”. Masyarakat cerdas pun akan berusaha menghadang kejahatan “politik mereka” dengan “politik kita”.
“Politik kita” pun berkenaan dengan pemborosan energi oleh Indomaret. Bayangkan, dalam sebuah minimarket Indomaret, berderet dipasang puluhan lampu tabung panjang (tubular lamp). Ada Indomaret di Lhokseumawe yang memasang 63 lampu: 22 lampu di dua deret, 10 di tiga deret, tambah 9 lampu depan. Itu belum seberapa. Salah satu Indomaret lainnya lebih dahsyat: ada 6 baris lampu, masing-masing baris dipasang 11 lampu, tambah 6 lampu depan, total: 72 lampu!
Apa hubungan pemborosan energi itu dengan “saya” dan “kita”? Tagihan listrik memang dibayar Indomaret. Namun, imbas dari penggunaan lampu-lampu mubazir–yang tujuannya “menyilaukan” mata konsumen–itu tak hanya dibebankan kepada Indomaret saja.
Kelak, saat terjadi krisis energi, semua “saya” akan menanggung beban itu. Termasuk wali kota yang persetan dengan spirit hemat energi. Kasus Indomaret hanya contoh kecil. Tak seberapa dibanding pemborosan energi secara besar-besaran oleh pabrik-pabrik para kapitalis tamak.
Sementara negara, atas nama “haram mengintervensi pasar”, merasa tak perlu memproteksi rakyatnya dalam jangka panjang. Di sinilah “politik kita” memainkan peran. Sebelum pemborosan itu mengusik “kita”, “politik kita” harus digerakkan untuk menuntut wali kota mengeluarkan kebijakan hemat energi bagi setiap tempat usaha yang beroperasi di malam hari.
Penentu politik
Politik tak boleh dipahami secara kaku sebagai: aktivitas sejumlah manusia di lembaga-lembaga politik. Jika politik dipahami kaku seperti itu, maka “saya”, misalnya Bisma Yadhi Putra dan para “pelaku politik saintifik” (istilah Radhar Panca Dahana) lainnya, yang tak menghuni lembaga pemerintahan manapun, tak dianggap bagian dari politik. Dia bukan isi politik, karena politik dilihat secara sempit sebagai “kamar hidup” yang hanya dihuni “pelaku politik praktis”. Yang tak berpolitik praktis dianggap objek.
Maka, sebagai objek, “kita” pun hanya bisa melihat “pantat politik”. Padahal, “kita” punya andil mengisi politik, misalnya dengan pajak, aspirasi, atau kritik. Namun, “kita” malah tak tahu bagaimana “perut politik” mencerna segala input politik. Tahu-tahu “kita” harus menikmati “kotoran politik”.
Rakyat mesti jadi penentu politik. Sebelum “kita” dibangun, setiap “saya” harus sadar bahwa ia makhluk berdaya. Dengan begitu, keadaan negara pun akan sangat ditentukan “saya”. Bayangkan jika ada jutaan “saya” tak mau bayar pajak gara-gara para aparatur negara menilap uang pajak: niscaya negara lumpuh. Bayangkan jutaan “saya” tak lagi taat hukum gara-gara pembuat hukum melanggar hukum: niscaya “pengadilan jalanan” pun jadi kelaziman.
Dengan memosisikan diri sebagai subjek politik, setiap orang akan memiliki dirinya sendiri. “Kita” pun mampu memahami siapa dirinya, apa yang dialaminya, apa yang dimilikinya, apa yang harus dilakukannya.
Manusia berdaya tak akan teralienasi dari “kamar politik” yang ditempatinya, karena dia menguasai dirinya secara utuh. Dia tak dapat dikuasai elite-elite politik. Dia kebal dari rayuan politik uang para caleg pragmatis. Suaranya tak dapat dibeli. Pemikirannya tak bisa diracuni.
 E-mail: muhammadiqbalsip.2016@gmail.com

No comments:

Post a Comment