RUANG Politik Kita untuk PEMULA
M IQBAL LAWEUENG*
COBA
ini dipikirkan lagi secara mendalam: mengapa politik harus selalu kita hubungkan
dengan hal-hal besar atau yang berat-berat? Ketika menanyakan apa isi politik
sebenarnya, siapa yang bertempat di dalamnya, lazimnya orang-orang menunjuk ke
depan. Bukan mengacungkan jari telunjuknya ke atas, bukan ke arahnya sendiri.
Goenawan
Mohamad meyakini: “Politik tak bisa dikurung di satu tempat. Politik tak hanya
berkisar di sejumlah lembaga. Bahkan partai, parlemen, dan pemerintahan
bukanlah ruang dan waktu politik yang sebenarnya” (“Representasi”, Tempo, 2/10/2011). Faktanya, politik melulu
dirujuk pada aktivitas elite-elite politik. Jadinya: politik adalah “mereka”.
Kehidupan
terdiri dari bermacam “kamar”: politik, ekonomi, budaya, agama, olahraga, pendidikan,
seksual, dan sebagainya. Semuanya saling terhubung. Segenap aktivitas manusia
tak lepas dari “kamar politik”. Tiada hal yang tak berhubungan dengan politik.
Sandal jepit, baju kaus, rokok, pistol air, hingga tusuk gigi adalah
komoditi-komoditi yang diproduksi dalam “kamar ekonomi”.
Karena
negara (institusi politik induk) mengenakan pajak untuk setiap komoditi yang
dipasarkan, maka politik pun terkandung di tusuk gigi. Itulah politik negara. Jadi,
bagi setiap orang, “ruang dan waktu politik yang sebenarnya” berkaitan dengan aneka
dinamika dalam “kamar hidup” yang ditempatinya.
Yang
kita alami, makan, gunakan, dan lakukan adalah realitas politik dalam lingkup
“kamar hidup” kita sendiri. “Politik saya” terbentuk ketika seseorang “saya”
(individu) sadar bahwa politik, bagi dirinya sendiri, adalah realitas-realitas kecil
yang berkisar di kehidupan sehari-harinya sendiri.
Aktivitas
sehari-harinya adalah “politik diri”. Politik tak dipandang sebagai “kamar” segelintir
pihak saja. Tanpa perlu memasuki “ruang politik praktis”, seseorang tetap
memiliki “kamar politik” sendiri. Semua orang memiliki politik. Dari sinilah “saya”
akan menggerakkan, mengubah, mempertahankan, dan mengembangkan kehidupannya
sebelum membentuk “politik kita”.
Jika
kemudian “saya” berasosiasi dengan banyak “saya” lainnya atas dasar kesamaan
nasib, maka kemudian membentuk “kita” (komunitas). Lantas, “politik saya”
menjadi “politik kita”. Tindak lanjutnya: “saya” kemudian berupaya agar hal-hal
yang dialaminya terjadi/tidak terjadi pada “kita”. Filsuf Niccolo Machiavelli percaya,
“Rakyat menjadi kuat jika bersatu, tetapi lemah sebagai individu-individu”. Partisipasi
bersama pun tercipta.
Jika
ada “kita” yang menempati “kamar olahraga”, khususnya sepak bola, misalnya, “politik
kita” digunakan untuk mendesak pemerintah kota agar melanjutkan turnamen sepak
bola U-21 yang dilangsungkan cuma sampai babak penyisihan grup. “Politik kita” memperjuangkan
nasib semua tim yang berambisi jadi juara.
“Politik
kita” menuntut pemerintah menuntaskan kompetisi. “Politik kita” digunakan untuk
menentang wali kota yang tak peduli pembinaan atlet muda. Kesadaran kritis yang
muncul kemudian mempertanyakan: dikemanakan dana kompetisi tersebut, diendap
atau ditilap? Dengan “politik kita”, pemerintah dituntut terbuka kepada publik.
“Politik
kita” juga upaya memberdayakan, mengatur, dan melindungi diri bersama komunitas
dari rongrongan “politik mereka”. Karena “kita” tak mampu mengubah Yahudi, maka
“politik kita” harus memastikan bahwa Yahudi juga tak mampu mengubah “kita”.
Masyarakat cerdas pun akan berusaha menghadang kejahatan “politik mereka”
dengan “politik kita”.
“Politik
kita” pun berkenaan dengan pemborosan energi oleh Indomaret. Bayangkan, dalam
sebuah minimarket Indomaret, berderet dipasang puluhan lampu tabung panjang (tubular lamp). Ada Indomaret di
Lhokseumawe yang memasang 63 lampu: 22 lampu di dua deret, 10 di tiga deret,
tambah 9 lampu depan. Itu belum seberapa. Salah satu Indomaret lainnya lebih
dahsyat: ada 6 baris lampu, masing-masing baris dipasang 11 lampu, tambah 6
lampu depan, total: 72 lampu!
Apa
hubungan pemborosan energi itu dengan “saya” dan “kita”? Tagihan listrik memang
dibayar Indomaret. Namun, imbas dari penggunaan lampu-lampu mubazir–yang
tujuannya “menyilaukan” mata konsumen–itu tak hanya dibebankan kepada Indomaret
saja.
Kelak,
saat terjadi krisis energi, semua “saya” akan menanggung beban itu. Termasuk
wali kota yang persetan dengan spirit hemat energi. Kasus Indomaret hanya contoh
kecil. Tak seberapa dibanding pemborosan energi secara besar-besaran oleh
pabrik-pabrik para kapitalis tamak.
Sementara
negara, atas nama “haram mengintervensi pasar”, merasa tak perlu memproteksi
rakyatnya dalam jangka panjang. Di sinilah “politik kita” memainkan peran.
Sebelum pemborosan itu mengusik “kita”, “politik kita” harus digerakkan untuk
menuntut wali kota mengeluarkan kebijakan hemat energi bagi setiap tempat usaha
yang beroperasi di malam hari.
Penentu politik
Politik
tak boleh dipahami secara kaku sebagai: aktivitas sejumlah manusia di
lembaga-lembaga politik. Jika politik dipahami kaku seperti itu, maka “saya”,
misalnya Bisma Yadhi Putra dan para “pelaku politik saintifik” (istilah Radhar
Panca Dahana) lainnya, yang tak menghuni lembaga pemerintahan manapun, tak
dianggap bagian dari politik. Dia bukan isi politik, karena politik dilihat secara
sempit sebagai “kamar hidup” yang hanya dihuni “pelaku politik praktis”. Yang
tak berpolitik praktis dianggap objek.
Maka,
sebagai objek, “kita” pun hanya bisa melihat “pantat politik”. Padahal, “kita”
punya andil mengisi politik, misalnya dengan pajak, aspirasi, atau kritik. Namun,
“kita” malah tak tahu bagaimana “perut politik” mencerna segala input politik. Tahu-tahu “kita” harus
menikmati “kotoran politik”.
Rakyat
mesti jadi penentu politik. Sebelum “kita” dibangun, setiap “saya” harus sadar
bahwa ia makhluk berdaya. Dengan begitu, keadaan negara pun akan sangat
ditentukan “saya”. Bayangkan jika ada jutaan “saya” tak mau bayar pajak
gara-gara para aparatur negara menilap uang pajak: niscaya negara lumpuh. Bayangkan
jutaan “saya” tak lagi taat hukum gara-gara pembuat hukum melanggar hukum: niscaya
“pengadilan jalanan” pun jadi kelaziman.
Dengan
memosisikan diri sebagai subjek politik, setiap orang akan memiliki dirinya
sendiri. “Kita” pun mampu memahami siapa dirinya, apa yang dialaminya, apa yang
dimilikinya, apa yang harus dilakukannya.
Manusia
berdaya tak akan teralienasi dari “kamar politik” yang ditempatinya, karena dia
menguasai dirinya secara utuh. Dia tak dapat dikuasai elite-elite politik. Dia
kebal dari rayuan politik uang para caleg pragmatis. Suaranya tak dapat dibeli.
Pemikirannya tak bisa diracuni.
E-mail: muhammadiqbalsip.2016@gmail.com
No comments:
Post a Comment