Wednesday, July 26, 2017

BELAJAR MENULIS /Jenuh,sulit dalam menulis

Belajar menulis demi kepentingan sendiri.
                   Muhammad iqbal

TERNYATA menulis tentang menulis itu sulit. Sudah berulang kali saya mengganti kalimat pertama tulisan ini. Sampai akhirnya diputuskan inilah yang paling tepat: memberi tahu semua orang bahwa saya gagal membuat paragraf pertama yang baik. Namun itu bukan masalah.
Kata Jean-Francois Lyotard, “Apa yang mengancam dalam karya berpikir (atau menulis) adalah bukan meninggalkan cerita, tetapi menganggap menjadi sempurna”. Ketepatan, kerapian, kedalaman, dan perampungan adalah keharusan dalam menulis. Namun, menuntut diri menjadi sempurna adalah hal sia-sia. Menulislah tanpa harus gelisah pada sempurna atau tidak.
Lyotard mengutip jawaban Claud Simon ketika ditanya: Bagaimana Anda membayangkan tugas menulis? Pertama, mencoba memulai sebuah kalimat. Kedua, melanjutkannya. Ketiga,  menyelesaikannya. Karena “menulis adalah untuk mencari”, Lyotard mengibaratkan ketiga tahap itu seperti menemukan dan mencintai seorang wanita (memulai) dengan tujuan melahirkan anak (melanjutkan) dan memiliki pengatur hidup agar berjalan sebagaimana lazimnya (menyelesaikan).
Semudah itu? Di awal-awal belajar jelas tak gampang. Ada keinginan besar menjadi penulis yang baik dan produktif, tetapi tidak punya “stamina menulis” memadai. Seperti orang yang baru belajar bermain bulu tangkis. Awalnya akan pegal di lengan, pinggang, paha, dan betis. Setelahnya, karena terbiasa berlatih keras, semua gerakan akan lancar. Menulis membutuhkan latihan tanpa jeda.
Guru tidak “nyata”
Orang-orang bertanya: kamu belajar menulis sama siapa? Pada sebuah kesempatan menjadi pendamping Teuku Kemal Fasya (TKF) dalam pelatihan menulis untuk para mantan penderita kusta, saya belajar banyak hal pada antropolog berhidung mancung itu.
Sebelumnya saya belajar dari orang-orang yang sampai hari ini belum pernah ditemui. Awalnya “memilih” Denny J.A, lewat buku Politik yang Mencari Bentuk (2006). Artikel-artikel di dalamnya menggerakkan saya untuk menulis. Pada 9 September 2011, artikel pertama dimuat di sebuah koran lokal yang kini sudah tak terbit. Sejak 2012 menargetkan: tiada bulan tanpa artikel yang terbit di media. Sampai kini saya berhasil dan akan jalan terus.
Ketika mulai sadar bahwa menulis bukan hanya soal analisis, gaya bahasa, kayanya referensi, dan kemudahan dicerna, tetapi juga keberpihakan ideologi, saya meninggalkan Denny, seorang pendukung demokrasi liberal dan kapitalisme. Lantas saya berpaling pada Revrisond Baswir, Ahmad Erani Yustika, Yasraf Amir Piliang, Sri Palupi, dan Radhar Panca Dahana. Yang terakhir disebut adalah yang paling saya kagumi.
Jika teks dianggap sekadar bacaan, tidak sampai mengubah perilaku dan cara seseorang menyikapi realitas, saya tak setuju. Radhar membuka pikiran saya, sekaligus membentuk perilaku sehari-hari yang baru. Salah satunya tentang “gerakan moral untuk hidup cukup” atau “ekonomi cukup”.
“Biarlah kita miskin materi secara pribadi, tapi kita kaya akan karya dan pengabdian pada rakyat semesta”. Itu keberhasilan teks Radhar, guru jauh nun di seberang lautan yang sampai hari ini belum sempat bertemu. Dengan demikian, tidak bisa menulis karena tak punya guru bersemuka menjadi alasan yang dibuat-buat. Berguru pada seorang penulis bisa dari mempelajari karya-karyanya.
Alasan mengada-ada lainnya: tidak punya komputer atau laptop. Jarniati, sahabat saya, mendapat penghargaan “Penulis Inspiratif” pada wisuda Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan III (28/12/2013). Dibanding beberapa temannya, jumlah artikel yang diproduksi Jarniati dalam setahun tak seberapa. Yang jadi pembeda: dia punya semangat besar meski tidak punya komputer atau laptop. Dia menulis di kertas, lalu minta diketikkan pada temannya. Masih mau berargumen tidak punya fasilitas cukup? Urungkan! Mari fokus pada mengerjakan, bukan mengeluh pada keterbatasan.
Mengeluarkan-memasukkan
Menulis adalah kegiatan “memasukkan untuk mengeluarkan”. Dasar argumennya: jika tiada yang aku masukkan, maka tiada yang bisa aku keluarkan. Di sini, “memasukkan” adalah soal menyerap fakta, ide, writing style, dan banyak lainnya. Tiada penulis sejati yang tidak membaca. Membaca pun tak boleh dipersempit sekadar merengkuh isi buku, tetapi juga membaca realitas (kemiskinan, penindasan, manipulasi, pelecehan, heroisme, terobosan, dan sebagainya). Penulis yang tak giat dan cermat membaca cenderung meracau.
Pada tahap selanjutnya, menulis menjadi kegiatan “mengeluarkan untuk memasukkan”. Inilah puncak menulis. Segenap penjelasan, ide, atau kritik yang dibangun dalam proses menulis kemudian dipublikasikan agar jadi masukan bagi pihak yang disasar. Sementara pihak yang disasar bisa saja malah gusar. Tidak perlu takut “menyerang” lewat tulisan, walaupun kemudian dibalas dengan cacian.
Tulisan yang baik, kata TKF, adalah yang “to strike the empire”. Ide, yang disebarkan lewat teks, tujuannya bukan untuk diterbitkan di koran semata, dilombakan, atau dijadikan sumber profit. Idealnya digunakan untuk menolong dan memperbaiki. Sementara dalam menolong, selalu ada yang merasa terganggu. Lumrah. Ada yang berterima kasih, lainnya menghujat. Tidak perlu takut pada kritik, cemoohan, bahkan ancaman.
Karena kesal pada artikel “Pengkhianat” (Serambi,7/12/2013), lantas zubirbir35@gmail.com memaki saya sejadi-jadinya. Namun dia, dan haters lainnya, tidak berhasil melemahkan saya. Justru menjadi energi. Mendapat respons itu menyenangkan, tidak peduli apakah itu cemoohan atau pujian. Keduanya menyemangati. Setiap penulis punya musuh dan pendukung masing-masing.
Tujuan menulis
Tujuan menulis akan menentukan isi tulisan. Kalau tujuannya ingin mendapat kedudukan dan uang, itu keliru. Pengejar kemasyhuran dan kekayaan tak akan punya “stamina menulis” tahan lama. Ketika karyanya gagal mendatangkan materi (melimpah), semangat pun runtuh. Bahkan ada yang mundur sebelum mencoba, gara-gara media yang hendak disasar ternyata tak menyediakan honor. Meski sepatutnya dihargai, tetapi penulis hendaknya tidak mengejar penghargaan.
Selain masalah honor tadi, yang juga meruntuhkan “stamina menulis” adalah kenyataan bahwa karya hanya dibaca (sangat) sedikit orang. Akibatnya, betapapun harus diselesaikan dengan susah payah, tulisan akhirnya gagal memberi dampak seperti yang diidealkan. Ide dan solusi diproduksi, tetapi realitas tak kunjung terperbaiki. Lantas, haruskah berhenti ketika tak didengarkan?
Dengan cerdas seorang teman mengaitkan penulis yang hanya bisa memberi dampak kecil–bahkan nihil sama sekali–dengan usaha burung bulbul ketika hendak memadamkan api yang dinyalakan Namrudz untuk membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup. Bulbul, dengan paruh kecilnya, bolak-balik membawa air untuk disiram ke kobaran api. Dia tidak khawatir dengan dampak berhasil atau tidak. Yang diutamakan bulbul adalah realisasi akhlak: ingin dicatat sebagai makhluk yang tulus melakukan kebaikan.
Jadi tak perlu gelisah pada pengaruh. Memangnya tulisan-tulisan kritis Zulfikar Muhammad berhasil membuat legislator-legislator di DPRA mau mengesahkan Rancangan Qanun KKR dengan segera? Memangnya “Politik Kita” (Serambi, 1/10/2013) bisa membuat pengelola Indomaret mau mengurangi pemakaian lampu secara mubazir? Memangnya artikel “Buruknya Perencanaan Pembangunan Aceh” (Serambi, 12/12/2013) serta-merta bisa mengubah pola perencanaan pembangunan Aceh menjadi baik? Memangnya karya-karya Radhar Panca Dahana yang menggugat beroperasinya ide-ide oksidental (demokrasi, kapitalisme, liberalisme) di Indonesia bisa diterima banyak orang? Tidak.
Namun setidaknya kita sudah menyelamatkan pemikiran diri melalui menulis. Sebab, sebagaimana kata Caius Titus, verba volant scripta manent. Kita juga tidak bisa dikatakan gagal, tidak gunawan. Kita melakukan langkah besar meskipun tak mampu mengubah realitas, atau maksimal hanya menghadirkan efek kecil.
  Berjayalah anda untuk meningkatkan prestasi masa depan.

Muhammad iqbal, Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh