BAB I
1.1 Pendahuluan
Perang adalah sesuatu yang sangat tidak disukai manusia. Al-Quran juga
mengatakan demikian. Ketika menyebutkan perintah perang Al-Quran sudah
menggaris bawahi bahwa perang adalah sesuatu yang sangat dibenci manusia. Namun
begitu, al-Quran juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik sesuatu yang tidak
disukai itu terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia. Sebaliknya, boleh
jadi pula sesuatu yang disenangi manusia ternyata membawa petaka bagi hidup.
Karena itu peperangan hanya dibolehkan dalam situasi yang sangat terpaksa.
Hal ini menunjukkkan, Islam sesuai dengan namanya adalah agama perdamaian dan
berusaha membawa manusia kedalam kedamaian, kesejahteraan kedalam rahmatnya.
Kedamaian itu tergantung kepada kesediaan manusia untuk tunduk dan taat kepada
ajaran-ajarannya yang tertuang kedalam Islam. Siapa saja yang menghadap
kepadanya dan mengharap petunjuknya pasti akan diberkatinya dengan kedamaian,
kebahagiaan dan kesempurnaan. [Muhammad
Iqbal, Fiqh siyasah kontekstualisasi doktrin politik Islam, hal 28]
Beberapa peperangan penting yang terjadi pada masa
Rasulullah seperti perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar adalah bukti bahwa
perang merupakan keniscayaan yang harus dihadapi muslimin, karena pilihan untuk
perdamaian tidak mungkin lagi tercapai. Disamping itu, para pejuang Islam
selalu berperang demi menegakkan keadilan dan melaksanakan perintah Allah,
bukan untuk memuaskan nafsu ataupun demi untuk mendapatkan harta kekayaan
ataupun budak.
Sudah menjadi watak
atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan sebuah kehidupan
yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Rasa damai dan aman merupakan hal yang
esensial dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian, diharapkan akan tercipta
dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama,
tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain. [ Eka
Hendry Ar., Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan
Perdamaian, h. 151]
Lebih lanjut,
Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian selalu menjadi kebutuhan dasar bagi
setiap manusia yang apabila perdamaian itu terwujud maka ia hidup dan apabila
perdamaian itu absen maka ia mati. [ Maulana Wahiduddin Khan, The
Ideology of Peace, h. 12]
Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak
mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban
tugas sebagai pembawa amanah Tuhan (khalifah fi al-ardl) untuk
memakmurkan dunia ini.
Banyak kalangan
memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan atau konflik.
Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi perdamaian negatif.
Menurut Johan Galtung, perdamaian negatif (negative peace)
didefinisikan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya.
Definisi ini memang sederhana dan mudah difahami, namun melihat realitas yang
ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak
nampak dan ketidakadilan. [ Johan Galtung, C.A.J. Coady, Morality
and Political Violence, New York: Cambridge University Press, 2008, h. 25]
Melihat kenyataan
ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan munculah definisi
perdamaian positif (positive peace). Definisi perdamaian positif
adalah absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial serta
terbentuknya suasana yang harmoni. [ Johan
Galtung, Globalizing God: Religion, Spirituality, and Peace, h. 16 ]
Hal itu senada dengan
adagium dari Robert B. Baowollo, “si vis pacem, para humaniorem solitudinem
(jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana damai sejati
dengan cara-cara yang lebih manusiawi)”. [ Majalah
IDEA, edisi 30, Maret 2011, h. 29 ]
Berdasarkan konsep
ini, usaha untuk mewujudkan perdamaian tidak hanya untuk mengurangi tindak
kekerasan saja, akan tetapi juga adanya ikhtiar untuk mewujudkan rasa tentram,
harmoni, dan damai dalam realita kehidupan sosial.
Di samping dari
dorongan intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat
ditemukan dan diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kebijaksanaan
masyarakat (local wisdom). Islam, misalnya, adalah agama perdamaian.
Banyak alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Setidaknya
ada tiga alasan, yakni: pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan
diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua,
salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma` al-husna adalah Yang
Mahadamai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang
merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut,
Zuhairi Misrawi menambahkan bahwa perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi
dari agama. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai
menolak esensi agama dan kemanusiaan. [ Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an
Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, h. 329 ]
Itulah misi dan
tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak
untuk memelihara permusuhan atau kekerasan di antara umat manusia. Konsepsi dan
fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam mendahulukan sikap kasih
sayang, keharmonisan dan dan kedamaian. Di antara bukti konkrit dari perhatian
Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah
al-madinah), perjanjian Hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain.
Dalam perspektif
sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam
perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai
individu maupun kelompok. Sehingga sikap perilaku yang diperankannya akan
terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku
individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada
nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. [
M. Mukhsin Jamil, Gagasan Agama Sipil (Civil Religion) di Indonesia, h. 5].
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian damai ?
2. Bagaiamana peraturan perdamaian ?
3. Kenapa harus berdamai ?
4. Apa pengertian perang
(jihad) ?
5. Bagaimana hukum perang dalam islam ?
6. Bagaimana peraturan perang ?
7. Bagaiaman Analisis Hukum
perang dan damai ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Damai
Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah
sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke
persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah
periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat
juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang
terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga
menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti
kombinasi dari definisi-definisi di atas. [wikipediaindonesia.com]
Dalam
pandang umum, kata damai bisa diartikan sebagai keadaan tanpa perang. Ketika
terjadi peperangan, sering kali muncul ungkapan “semoga kedua belah pihak bisa
berdamai”. Misalnya perang Vietnam Utara dengan ietnam Selatan yang telah usai,
dikatakan kedua negara tersebut telah berdamai. Bahkan kini bersatu
danmelakukan pembangunan. Banyak para ahli yang mengatakan, bahwa damai memang
keadaan tanpa perang.
Ada juga
yang menggambarkan bahwa kedamaian itu adalah ketenangan jiwa. Biasanya ini
adalah gagasan yang bersumber pada agama dan kitab suci. Semua agama memang
menyeru manusia pada kedamaian jiwa, kedamaian perilaku hingga tercipta
kedamaian kehidupan. Memberikan makna tentang kedamaian memang harus
memperhatikan dan menimbang banyak aspek. Dari semua pendapat diatas, kiranya
bisa diambil kesimpulan tentang makna kedamaian. Bahkan kadang kala, makna
kedamaian itu sulit digambarkan dengan kata-kata tapi bisa dengan mudah
dibedakan dan
Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan.
Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata
tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.
2.2 Peraturan perdamaian
Di dalam berbagai peraturan perang yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah
bahwa Islam mensyaratkan peraturan dalam kondisi perang yaitu menjamin dalam
rangka menghindari adanya pengkhianatan, penculikan, penyikasaan, pencacatan,
dan perusakan. Hal ini menunjukkan bahwa islam menghendaki perang dalam rangka
membimbing manusia sekaligus membasmi kejahatan mereka dan bukan untuk
membantai atau memusnahkan mereka.
Konsep peraturan tersebut berdasarkan pada firman Allah “ Allah tiada
melarang kaum untuk berbuat baik dan belaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu karena agama karena agama tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawinmu orang-orang
yang memerangimu dan mengusir karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu,
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barang siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”
Ada pendapat yang lebih kuat bahwa peraturan tersebut ditetapkan berkenaan
dengan perihal pergaulan kaum muslim dan kaum non muslim baik yang bermukim
bersama-sama di dar al-islam ataupun di dar al-harb yang mana orang-orang non
muslim tidak memerangi orang muslim yaitu yang disebut dengan perdamaian.Sementara
itu ada pendapat yang melihat bahwa sesungguhnya peraturan itu ditetapkan untuk
diberlakukan pada orang kafir dzimmi yang telah memperoleh hak sesama islam
sebab islam menetapkan asas persamaan baik pada kafir dzimmi maupun orang
muslim.
Dalam
peraturan mengenai diyat, tanggungan, hukuman ta’zir berlaku bagi orang-orang
kafir dzimmi berlaku seperti pada orang-orang muslim. Dalam masalah perkawinan
mereka diperbolehkan melangsungkan perkawinan sesuai dengan agama mereka,
kendati perkawinan itu berlawanan dengan syarat-syarat nikah menurut hukum
islam begitu juga cerai. Dalam masalah warisan seorang kafir dzimi tidak boleh
mewarisi keluarganya yang beragama islam. Hal ini berlaku juga bagi seorang
muslim. Sedangkan dalam hal muamalah dan pergaulan yang baik, islam telah
mengundangkan peraturan-peraturan yang menjadikan hati orang-orang muslim
terhibur dan lapang, yaitu seorang muslim boleh menjamu orang non muslim dan
pergi maupun bertemu dengan mereka lalu mengadakan pertukaran hadiah serta
berjabat tangan. Demikian juga dalam masalah ibadah dan akidah, mereka
diberikan kebebasan secara mutlak untuk menjalankan semua peribadatan dan
keyakinan yang mereka yakini tanpa diganggu sedikitpun, mereka juga berhak mendirikan
Gereja, namun di kota-kota muslim mereka hanya berhak membangun kembali tempat peribadatan
yang telah hancur, yang menarik mereka boleh memukul lonceng-lonceng dalam
Gereja (setelah bunyi adzan) serta kegiatan lainnya selama tidak menimbulkan
kekacauan atau permusuhan dan tidak bertentangan dengan syariat islam. [ Abdulwahabkhilaf, hal 113-126 ].
2.3 Sebab Dilakukannya Perdamaian
a. Apabila ada kesepakatan atau kemenangan di pihak Islam.
b. Adanya perjanjian patuh kepada pemerintahan Islam.
c. Dilakukan kerena itu perintah agama.
d. Apabila diajak
berdamai oleh pihak musuh.
e. Tidak adanya paksaaan dalam agama.
f. Tidak melarang untuk menjalankan aktifitas keagamaan.
g. Harus patuh dan tidak melanggar perjanjian.
2.4 Pengertian perang (jihad)
Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal
prinsip-prinsip DinIslam sebagai
'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad.
Jihad dalam bentuk perang
dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar).
Jihad tidak bisa dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan
Allah atau mengadakan perjanjian damai maupun ketaatan. [Http://idwikipedia.org/wiki]
Jihad berarti perjuangan atas nama
Allah SWT. Jihad tidak selalu berarti perang fisik. Dakwah damai dalam
menyerukan yang ma’ruf dan kebenaran Allah, atau memperjuangkan yang hak dan
mengutuk kezhaliman (seperti memerangi penindas dan membantu pihak yang
tertindas, walaupun mereka kaum NonMuslim) juga termasuk bagian dari Jihad.
Islam bukanlah agama pedang dan
jahat. Disaat Allah Ta’ala menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad saw, beliau
menjadi Rasulullah, dan harus menyebarkan Islam kepada sekitar 365 suku-suku
Musrykin disemenanjung Arab. Suku-suku tersebut menunjukkan sikap permusuhan terhadap kaum
Muslim, dan telah melakukan sejumlah peperangan terhadap kaum Muslim.
Kemudian, disaat Islam menjadi agama
dari Negara yang kita kenal sekarang sebagai Saudi Arabia, dan hampir seluruh
dari 365 suku Musrykin telah memeluk Islam, Kaum Muslim masih harus menghadapi
tantangan lain yang berbeda..
Sebuah contoh, diantara sejumlah
peperangan yang mereka lancarkan kepada Muslim dikarenakan mereka melihat agama
Islam sebagai ancaman bagi agamanya di wilayah Timur Tengah, raja “Herkules”,
mengirimkan sekitar 100.000 tentara menuju “Madinah” untuk memusnahkan Islam
untuk selamanya. Saat itu, kekuatan umat Muslim belum terlalu stabil, dan mereka hanya
mengirim sekitar 3.000 tentara untuk mengusir tentara Kristen Romawi dari
Madinah. Perang tersebut dinamai “Perang Mu’ta” dan terjadi di wilayah Mu’ta,
Yordania. Rencana yang
ditetapkan adalah menghadang Kristen Romawi jauh diluar kota Madinah, sejauh
yang mereka bisa. Tentara yang hanya berjumlah 3.000 personil berhasil bertahan
selama beberapa hari menghadapi 100.000 tentara Romawi yang kemudian mundur dan
menuju Yordania selatan. Dan tentara Romawi akhirnya menyimpang dari Madinah
dan pasukan kecil Muslim berhasil melarikan diri melintasi pegunungan. Namun
begitu lebih dari setengah jumlah pasukan kaum Muslim gugur dalam operasi
tersebut.
Berkenaan dengan masalah Jihad dan
memerangi musuh, Allah Ta’ala Membuat pemisahan jelas didalam al-Quran sikap
yang perlu diambil dalam menghadapi nonMuslim yang tidak memerangi, dan sikap
terhadap nonMuslim yang memerangi:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (al-Quran,
2:190)“
2.4.1
Hukum perang dalam Islam
Kaum Muslim dilarang keras menyerang
kaum yang tidak memerangi:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (al-Quran,
2:190)“
Perangilah atas nama Allah Ta’ala
mereka yang memerangi kita itulah makna “Jihad” sebenarnya! Saya tidak bisa
begitu saja membunuhi nonMuslim hanya karena mereka nonMuslim, hal ini
sama-sekali dilarang Allah SWT:
“Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi. (al-Quran, 5:32)“
Jihad hanya boleh dideklarasikan jika
kaum Muslim diserang terlebih dahulu. Sebaliknya kami tidak diperkenankan
memerangi mereka yang berdamai. Bahkan apabila perang terjadi, jika musuh
menawarkan perdamaian, maka kita diwajibkan untuk menerimanya dan mengakhiri
pertumpahan darah: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.(al-Quran, 8:61)”.
Dan jika perjanjian damai dibuat,
maka kita wajib menghormati pernjanjian tersebut dengan praktek, bukan hanya
dimulut:
“Kecuali orang-orang
yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)atau orang-orang yang
datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan
memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada
mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka
membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian
kepadamumaka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh)
mereka. (al-Quran,
4:90)”
“Bagaimana bisa ada
perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin,
kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah
kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa.
(The Noble Quran, 9:7)“
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu
‘anha, beliau berkata:Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dari
Aisyah Radhiallahu ‘anha ia
berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasalam jika mengutus seorang komandan yang membawa sebuah
pasukan besar atau kecil, beliau mewasiatkan kepadanya untuk bertakwa kepada
Allah dan mewasiat-kan kepada kaum muslimin dengan kebaikan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Berperanglah dengan nama Allah! Di
jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan
mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh dan
jangan membunuh anak-anak!. Jika kalian menemui musuh kalian dari kalangan
musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara –Jika mereka menerima salah
satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidak memerangi)–: ajaklah kepada
Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah mereka dan tahanlah
peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka
terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat
muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka
bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim.
Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali
jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk
Islam), maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai
orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah
kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.Jika engkau mengepung
penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah dan ingin meminta jaminan
Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka
jaminan kalian, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih
ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan
engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi
dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau
menepati hukum Allah pada mereka atau tidak. (HR. Muslim dalam Kitabul
Jihad bab Ta’mirul Imam no. 1731)
Dalam hadits di atas kita mendapatkan banyak faedah tentang aturan-aturan
perang yang menunjukkan rahmat Islam pada seluruh manusia, di antaranya:
- Diperintahkan
agar komandan dan pasukannya betakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala
- Mengikhlaskan
niat untuk berperang karena Allah bukan karena harta dunia atau kedudukan,
bukan pula untuk rebutan kekuasaan.
- Dilarang
mencuri rampasan perang. Yaitu mengambil pampasan perang untuk pribadinya
sebelum dibagi secara syar’i oleh komandannya.
- Tidak
mengingkari perjanjian yang telah dibuat antara kaum muslimin dengan orang
kafir, kecuali jika mereka yang mulai melanggarnya, seperti perjanjian
antara kaum muslimin dan Yahudi di Madinah, atau perjanjian Hudaibiyah
antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Qurais dan sekutuya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan
para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Madinah hingga kaum Yahudi
Bani Quraidah berkhianat. Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasalam dan para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Hudaibiyah
hingga musyrikin Quraisy sendiri yang membatalkannya.
- Tidak
boleh merusakan jasad musuh. Yakni musuh yang telah mati terbunuh, tidak
boleh dicacati, apakah dengan dicongkel matanya, dipotong hidungnya,
kemaluannnya dan lain-lainnya walaupun dengan alasan menghinakan orang
kafir. Semua itu dilarang dalam Islam.
- Tidak
membunuh anak-anak, karena mereka bukan umur perang.
Kami kira aturan ini dikenal banyak manusia bahkan dalam hukum “positif” orang-orang kafir sekalipun.
Termasuk yang tidak boleh dibunuh dalam perang selain anak-anak adalah wanita, orang tua renta dan para pekerja, buruh dan petani yang tidak ikut andil dalam peperangan.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam berjalan bersama pasukannya. Kemudian beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid Radhiallahu ‘anhu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya:
Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau membunuh dzurriyah (wanita dan
anak-anak) dan pekerja. (HR. Abu
Dawud)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
Katakan kepada Khalid: Jangan ia membunuh wanita dan
pekerja. (HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Thahawi. Lihat Ash-Shahihah karya Syaikh Al-Albani 6/314)
- Menawarkan
tiga pilihan kepada musuh sebelum berperang:
- Mengajak
kepada Islam. Jika mereka mau menerima Islam, maka berhentilah
peperangan. Dan ajaklah untuk hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum
muslimin. Kalau mereka tidak mau hijrah, maka status mereka seperti
orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim.
- Jika
mereka tidak mau menerima Islam, maka ajaklah untuk tunduk pada negara
kaum muslimindan membayar upeti (jizyah) sebagai orang kafir dzimmi yang
dilindungi.
- Jika
mereka menolak jizyah, maka berarti memilih yang ke tiga yaitu perang.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Kalau
mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah dan perangilah!”.
- Jika
mereka meminta jaminan, maka berikan jaminan kalian secara pribadi, jangan
mengatas-namakan Allah, yakni jangan memberi jaminan Allah. Karena kalau
kalian melanggar jaminan kalian lebih ringan daripada melanggar jaminan
Allah.Demikian pula ketika mereka meminta dihukumi dengan hukum Allah,
maka katakanlah bahwa ini hukum yang kami putuskan, karena belum tentu
kalian menepati hukum Allah.
Faedah terakhir ini memiliki makna yang sangat dalam. Karena kita
diperintahkan untuk tidak menjatuhkan nama Allah dan nama Islam dengan
perbuatan atau keputusan kita. Sehingga walaupun kita sudah berupaya untuk
memutuskan sesuai dengan dalil-dalil dari Allah dan rasul-Nya, tapi tetap kita
katakan kepada musuh-musuh kita bahwa ini adalah keputusan kami. Dengan kata lain
ini ijtihad kami, sehingga kalau ternyata salah, maka itu kekeliruan kita,
karena kurang memahami makna ayat dan hadits. Kalau tepat kita bersyukur kepada
Allah Subhanahu wata’ala.
Berbeda dengan orang-orang yang sombong dan terlalu berani mengatasnamakan
Allah atau Islam terhadap perbuatan yang mereka lakukan. Mereka membantai dan
membunuh anak-anak serta para wanita, mengacau di mana-mana kemudian berkata: “Inilah Islam”, “Inilah perintah Allah”, yang ternyata
mereka salah memahami arti jihad, salah memahami ayat dan hadits. Akibatnya
orang-orang kafir dan orang-orang bodoh mengira bahwa Islam itu kejam, sadis,
tidak punya perikemanusiaan. Sehingga jatuhlah nama Islam, karena perbuatan
bodoh kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam tersebut. Silakan
mereka periksa “jihad” mereka,
apakah sudah mencocoki aturan-aturan sunnah di atas? Atau mereka sengaja ingin
merusak gambaran Islam yang adil dan bijaksana? Maka para
pemuda-pemuda muslim yang berjalan dengan emosinya dan tidak mau mengikuti bimbingan
ayat-ayat dan hadits di atas, mereka bukan pengikut sunnah (ahlus sunnah), tapi
pengikut emosi (ahlul ahwa). Yang mencoreng dan mengotori gambaran Islam yang
akhirnya bertentangan dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri.
2.5 Peraturan Perang
Perang merupakan strategi keterpaksaan demi menolak permusuhan yang
ditujukan kepada kaum muslim. Selain itu demi memutus segala fitnah yang
ditimbulkan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum muslim. Semua peraturan
yang diwajibkan oleh Islam untuk memelihara dan menjaga perdamaian dalam rangka
meringankan bencana yang ditimbulkan oleh peperangan haruslah merupakan
peraturan yang bersifat rahmat bagi manusia. Walaupun peraturan-peraturan yang
ada dalam berbagai segi sesuai dengan peraturan internasional, namun selamanya
masih juga terdapat perbedaan. Hal itu karena peraturan perang dalam Islam
merupakan peraturan yang bersifat keagamaan yang diundangkan oleh agama. Adapun
peraturan hukum internasional sama sekali tidak mempunyai kekuatan eksekutif
yang menjamin atas pelaksanaanya. Bahkan sebagian peneliti berpendapat bahwa
peraturan-peraturan internasional tidak dapat disebut sebagai undang-undang,
kecuali jika memiliki suatu kekuatan yang mampu melindungi dan memaksa
pelaksanaannya. Berdasarkan alasan tersebut, maka peraturan perang dalam Islam
disyariatkan sebagai berikut:
1. Undang-undang internasional telah menetapkan bahwa
negara yang terpaksa harus mengumumkan perang, sebelumnya wajib mengumumkan
terlebih dahulu kepada negara lain trentang waktu mulainya perang itu.
2. Hukum internasional telah menetapkan dan mengakui
bahwa, rakyat tidak boleh menimbulkan bahaya pada dirinya sendiri.
3. Menurut hukum nasional ada kewajiban untuk memberi
perhatian serius kepada orang-orang sakit dan orang-orang terluka dalam perang.
4. Hukum internasional melarang mengadakan pembunuhan
dan pemusnahan terhadap orang-orang yang terluka.
5. Menurut hukum internasional orang-orang yang
tertahan boleh didesak dan dilemahkan sampai terpaksa harus menyerahkan diri.[Abdulwahabkhilaf, politikhukumislam,
hal 103-111 ]
2.6 Analisis Hukum
Secara umum hukum perang adalah fardu kifayah, akan tetapi fardu kifayah
ini akan berubah menjadi fardu ‘ain apabila umat muslim berada dalam keadaaan
yang sangat lemah, fardu ‘ain ini bisa berlaku atas setiap individu muslim
apabila terdapat satu di antara hal-hal berikut:
- Apabila
pasukan muslim dan kafir sudah berhadapan. Dalam kondisi demikian , maka
haram hukumnya bagi muslim yang berada dalam barisan itu melarikan diri,
sebagai mana yang disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 15
- Pasukan
kafir melakukan agresi ke negeri Islam. Ketika itu diseluruh penduduk
wajib berperang mempertahankan tanah air dan kehormatan mereka (At-Taubah;
123)
- Ketika
ada perintah dari pemerintah untuk melakukan peperangan (At-Taubah; 38)
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Perang adalah sesuatu yang sangat tidak disukai
manusia. Al-Quran juga mengatakan demikian. Ketika menyebutkan perintah perang
Al-Quran sudah menggaris bawahi bahwa perang adalah sesuatu yang sangat dibenci
manusia. Namun begitu, al-Quran juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik
sesuatu yang tidak disukai itu terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia.
Ø Sudah menjadi watak atau bahkan
fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan sebuah kehidupan yang aman,
tentram, harmoni, dan damai. Rasa damai dan aman merupakan hal yang esensial
dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian, diharapkan akan tercipta dinamika
yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama, tanpa ada
rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain.
Ø
Damai
memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan
kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang,
atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan
bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan
tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk
tidur atau meditasi.
Ø Jihad hanya boleh dideklarasikan
jika kaum Muslim diserang terlebih dahulu. Sebaliknya tidak diperkenankan memerangi mereka yang
berdamai. Bahkan apabila perang terjadi, jika musuh menawarkan perdamaian, maka
kita diwajibkan untuk menerimanya dan mengakhiri pertumpahan darah.
Ø Perang merupakan strategi keterpaksaan demi menolak
permusuhan yang ditujukan kepada kaum muslim. Selain itu demi memutus segala
fitnah yang ditimbulkan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Eka Hendry Ar., Sosiologi
Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan Perdamaian, Pontianak: STAIN
Pontianak Press, 2009.
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an
Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, Jakarta:
Pustaka Oasis, 2010.
www.wikipediaindonesia.com
http://blogeareksyariah.blogspot.com/2008/05/hukum-perang-dan-damai-dalam-islam.htm