Wednesday, March 23, 2016

PERANG DAN DAMAI DALAM KONSEP ISLAM

BAB I


1.1 Pendahuluan
Perang adalah sesuatu yang sangat tidak disukai manusia. Al-Quran juga mengatakan demikian. Ketika menyebutkan perintah perang Al-Quran sudah menggaris bawahi bahwa perang adalah sesuatu yang sangat dibenci manusia. Namun begitu, al-Quran juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik sesuatu yang tidak disukai itu terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia. Sebaliknya, boleh jadi pula sesuatu yang disenangi manusia ternyata membawa petaka bagi hidup.
Karena itu peperangan hanya dibolehkan dalam situasi yang sangat terpaksa. Hal ini menunjukkkan, Islam sesuai dengan namanya adalah agama perdamaian dan berusaha membawa manusia kedalam kedamaian, kesejahteraan kedalam rahmatnya. Kedamaian itu tergantung kepada kesediaan manusia untuk tunduk dan taat kepada ajaran-ajarannya yang tertuang kedalam Islam. Siapa saja yang menghadap kepadanya dan mengharap petunjuknya pasti akan diberkatinya dengan kedamaian, kebahagiaan dan kesempurnaan. [Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah kontekstualisasi doktrin politik Islam, hal 28]
Beberapa peperangan penting yang terjadi pada masa Rasulullah seperti perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar adalah bukti bahwa perang merupakan keniscayaan yang harus dihadapi muslimin, karena pilihan untuk perdamaian tidak mungkin lagi tercapai. Disamping itu, para pejuang Islam selalu berperang demi menegakkan keadilan dan melaksanakan perintah Allah, bukan untuk memuaskan nafsu ataupun demi untuk mendapatkan harta kekayaan ataupun budak.
Sudah menjadi watak atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan sebuah kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Rasa damai dan aman merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian, diharapkan akan tercipta dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain. [ Eka Hendry Ar., Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan Perdamaian, h. 151]
Lebih lanjut, Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian selalu menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang apabila perdamaian itu terwujud maka ia hidup dan apabila perdamaian itu absen maka ia mati. [ Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology of Peace, h. 12]
 Oleh  karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan (khalifah fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini.
Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan atau konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi perdamaian negatif. Menurut Johan Galtung, perdamaian negatif (negative peace) didefinisikan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini memang sederhana dan mudah difahami, namun melihat realitas yang ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. [ Johan Galtung, C.A.J. Coady, Morality and Political Violence, New York: Cambridge University Press, 2008, h. 25]
Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan munculah definisi perdamaian positif (positive peace). Definisi perdamaian positif adalah absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial serta terbentuknya suasana yang harmoni. [ Johan Galtung, Globalizing God: Religion, Spirituality, and Peace, h. 16 ]
Hal itu senada dengan adagium dari Robert B. Baowollo, “si vis pacem, para humaniorem solitudinem (jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana damai sejati dengan cara-cara yang lebih manusiawi)”. Majalah IDEA, edisi 30, Maret 2011, h. 29 ]
Berdasarkan konsep ini, usaha untuk mewujudkan perdamaian tidak hanya untuk mengurangi tindak kekerasan saja, akan tetapi juga adanya ikhtiar untuk mewujudkan rasa tentram, harmoni, dan damai dalam realita kehidupan sosial.
Di samping dari dorongan intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dan diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kebijaksanaan masyarakat (local wisdom). Islam, misalnya, adalah agama perdamaian. Banyak alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Setidaknya ada tiga alasan, yakni: pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma` al-husna adalah Yang Mahadamai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut, Zuhairi Misrawi menambahkan bahwa perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi dari agama. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan. [ Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, h. 329 ]

Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau kekerasan di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan dan kedamaian. Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah), perjanjian Hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain.
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga sikap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. [ M. Mukhsin Jamil, Gagasan Agama Sipil (Civil Religion) di Indonesia, h. 5].

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian damai ?
2.      Bagaiamana peraturan perdamaian  ?
3.      Kenapa harus berdamai ?
4.      Apa pengertian perang (jihad) ?
5.      Bagaimana hukum perang dalam islam ?
6.      Bagaimana peraturan perang ?
7.      Bagaiaman Analisis Hukum perang dan damai ?








BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Damai
Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. [wikipediaindonesia.com]
Dalam pandang umum, kata damai bisa diartikan sebagai keadaan tanpa perang. Ketika terjadi peperangan, sering kali muncul ungkapan “semoga kedua belah pihak bisa berdamai”. Misalnya perang Vietnam Utara dengan ietnam Selatan yang telah usai, dikatakan kedua negara tersebut telah berdamai. Bahkan kini bersatu danmelakukan pembangunan. Banyak para ahli yang mengatakan, bahwa damai memang keadaan tanpa perang.

Ada juga yang menggambarkan bahwa kedamaian itu adalah ketenangan jiwa. Biasanya ini adalah gagasan yang bersumber pada agama dan kitab suci. Semua agama memang menyeru manusia pada kedamaian jiwa, kedamaian perilaku hingga tercipta kedamaian kehidupan. Memberikan makna tentang kedamaian memang harus memperhatikan dan menimbang banyak aspek. Dari semua pendapat diatas, kiranya bisa diambil kesimpulan tentang makna kedamaian. Bahkan kadang kala, makna kedamaian itu sulit digambarkan dengan kata-kata tapi bisa dengan mudah dibedakan dan
Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.



2.2 Peraturan perdamaian
Di dalam berbagai peraturan perang yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bahwa Islam mensyaratkan peraturan dalam kondisi perang yaitu menjamin dalam rangka menghindari adanya pengkhianatan, penculikan, penyikasaan, pencacatan, dan perusakan. Hal ini menunjukkan bahwa islam menghendaki perang dalam rangka membimbing manusia sekaligus membasmi kejahatan mereka dan bukan untuk membantai atau memusnahkan mereka.
Konsep peraturan tersebut berdasarkan pada firman Allah “ Allah tiada melarang kaum untuk berbuat baik dan belaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama karena agama tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawinmu orang-orang yang memerangimu dan mengusir karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”
Ada pendapat yang lebih kuat bahwa peraturan tersebut ditetapkan berkenaan dengan perihal pergaulan kaum muslim dan kaum non muslim baik yang bermukim bersama-sama di dar al-islam ataupun di dar al-harb yang mana orang-orang non muslim tidak memerangi orang muslim yaitu yang disebut dengan perdamaian.Sementara itu ada pendapat yang melihat bahwa sesungguhnya peraturan itu ditetapkan untuk diberlakukan pada orang kafir dzimmi yang telah memperoleh hak sesama islam sebab islam menetapkan asas persamaan baik pada kafir dzimmi maupun orang muslim.
Dalam peraturan mengenai diyat, tanggungan, hukuman ta’zir berlaku bagi orang-orang kafir dzimmi berlaku seperti pada orang-orang muslim. Dalam masalah perkawinan mereka diperbolehkan melangsungkan perkawinan sesuai dengan agama mereka, kendati perkawinan itu berlawanan dengan syarat-syarat nikah menurut hukum islam begitu juga cerai. Dalam masalah warisan seorang kafir dzimi tidak boleh mewarisi keluarganya yang beragama islam. Hal ini berlaku juga bagi seorang muslim. Sedangkan dalam hal muamalah dan pergaulan yang baik, islam telah mengundangkan peraturan-peraturan yang menjadikan hati orang-orang muslim terhibur dan lapang, yaitu seorang muslim boleh menjamu orang non muslim dan pergi maupun bertemu dengan mereka lalu mengadakan pertukaran hadiah serta berjabat tangan. Demikian juga dalam masalah ibadah dan akidah, mereka diberikan kebebasan secara mutlak untuk menjalankan semua peribadatan dan keyakinan yang mereka yakini tanpa diganggu sedikitpun, mereka juga berhak mendirikan Gereja, namun di kota-kota muslim mereka hanya berhak membangun kembali tempat peribadatan yang telah hancur, yang menarik mereka boleh memukul lonceng-lonceng dalam Gereja (setelah bunyi adzan) serta kegiatan lainnya selama tidak menimbulkan kekacauan atau permusuhan dan tidak bertentangan dengan syariat islam. [ Abdulwahabkhilaf, hal 113-126 ].
2.3  Sebab Dilakukannya Perdamaian
a. Apabila ada kesepakatan atau kemenangan di pihak Islam.
b. Adanya perjanjian patuh kepada pemerintahan Islam.
c. Dilakukan kerena itu perintah agama.
d.  Apabila diajak berdamai oleh pihak musuh.
e. Tidak adanya paksaaan dalam agama.
f. Tidak melarang untuk menjalankan aktifitas keagamaan.
g. Harus patuh dan tidak melanggar perjanjian.

2.4 Pengertian perang (jihad)
Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip DinIslam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang adalah Qital, bukan Jihad.
Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar). Jihad tidak bisa dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan Allah atau mengadakan perjanjian damai maupun ketaatan. [Http://idwikipedia.org/wiki]
Jihad berarti perjuangan atas nama Allah SWT. Jihad tidak selalu berarti perang fisik. Dakwah damai dalam menyerukan yang ma’ruf dan kebenaran Allah, atau memperjuangkan yang hak dan mengutuk kezhaliman (seperti memerangi penindas dan membantu pihak yang tertindas, walaupun mereka kaum NonMuslim) juga termasuk bagian dari Jihad.
Islam bukanlah agama pedang dan jahat. Disaat Allah Ta’ala menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad saw, beliau menjadi Rasulullah, dan harus menyebarkan Islam kepada sekitar 365 suku-suku Musrykin disemenanjung Arab. Suku-suku tersebut menunjukkan sikap permusuhan terhadap kaum Muslim, dan telah melakukan sejumlah peperangan terhadap kaum Muslim.
Kemudian, disaat Islam menjadi agama dari Negara yang kita kenal sekarang sebagai Saudi Arabia, dan hampir seluruh dari 365 suku Musrykin telah memeluk Islam, Kaum Muslim masih harus menghadapi tantangan lain yang berbeda..
Sebuah contoh, diantara sejumlah peperangan yang mereka lancarkan kepada Muslim dikarenakan mereka melihat agama Islam sebagai ancaman bagi agamanya di wilayah Timur Tengah, raja “Herkules”, mengirimkan sekitar 100.000 tentara menuju “Madinah” untuk memusnahkan Islam untuk selamanya. Saat itu, kekuatan umat Muslim belum terlalu stabil, dan mereka hanya mengirim sekitar 3.000 tentara untuk mengusir tentara Kristen Romawi dari Madinah. Perang tersebut dinamai “Perang Mu’ta” dan terjadi di wilayah Mu’ta, Yordania. Rencana yang ditetapkan adalah menghadang Kristen Romawi jauh diluar kota Madinah, sejauh yang mereka bisa. Tentara yang hanya berjumlah 3.000 personil berhasil bertahan selama beberapa hari menghadapi 100.000 tentara Romawi yang kemudian mundur dan menuju Yordania selatan. Dan tentara Romawi akhirnya menyimpang dari Madinah dan pasukan kecil Muslim berhasil melarikan diri melintasi pegunungan. Namun begitu lebih dari setengah jumlah pasukan kaum Muslim gugur dalam operasi tersebut.
Berkenaan dengan masalah Jihad dan memerangi musuh, Allah Ta’ala Membuat pemisahan jelas didalam al-Quran sikap yang perlu diambil dalam menghadapi nonMuslim yang tidak memerangi, dan sikap terhadap nonMuslim yang memerangi:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Quran, 2:190)“
2.4.1        Hukum perang dalam Islam
Kaum Muslim dilarang keras menyerang kaum yang tidak memerangi:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Quran, 2:190)“
Perangilah atas nama Allah Ta’ala mereka yang memerangi kita itulah makna “Jihad” sebenarnya! Saya tidak bisa begitu saja membunuhi nonMuslim hanya karena mereka nonMuslim, hal ini sama-sekali dilarang Allah SWT:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (al-Quran, 5:32)“
Jihad hanya boleh dideklarasikan jika kaum Muslim diserang terlebih dahulu. Sebaliknya kami tidak diperkenankan memerangi mereka yang berdamai. Bahkan apabila perang terjadi, jika musuh menawarkan perdamaian, maka kita diwajibkan untuk menerimanya dan mengakhiri pertumpahan darah:         Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(al-Quran, 8:61)”.
Dan jika perjanjian damai dibuat, maka kita wajib menghormati pernjanjian tersebut dengan praktek, bukan hanya dimulut:
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamumaka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. (al-Quran, 4:90)”
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (The Noble Quran, 9:7)“
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, beliau berkata:Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dari Aisyah Radhiallahu ‘anha ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam jika mengutus seorang komandan yang membawa sebuah pasukan besar atau kecil, beliau mewasiatkan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan mewasiat-kan kepada kaum muslimin dengan kebaikan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Berperanglah dengan nama Allah! Di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh dan jangan membunuh anak-anak!. Jika kalian menemui musuh kalian dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara –Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidak memerangi)–: ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam), maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah dan ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminan kalian, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada mereka atau tidak. (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta’mirul Imam no. 1731)
Dalam hadits di atas kita mendapatkan banyak faedah tentang aturan-aturan perang yang menunjukkan rahmat Islam pada seluruh manusia, di antaranya:
  1. Diperintahkan agar komandan dan pasukannya betakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala
  2. Mengikhlaskan niat untuk berperang karena Allah bukan karena harta dunia atau kedudukan, bukan pula untuk rebutan kekuasaan.
  3. Dilarang mencuri rampasan perang. Yaitu mengambil pampasan perang untuk pribadinya sebelum dibagi secara syar’i oleh komandannya.
  4. Tidak mengingkari perjanjian yang telah dibuat antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali jika mereka yang mulai melanggarnya, seperti perjanjian antara kaum muslimin dan Yahudi di Madinah, atau perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Qurais dan sekutuya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Madinah hingga kaum Yahudi Bani Quraidah berkhianat. Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan para shahabatnya tidak melanggar perjanjian Hudaibiyah hingga musyrikin Quraisy sendiri yang membatalkannya.
  5. Tidak boleh merusakan jasad musuh. Yakni musuh yang telah mati terbunuh, tidak boleh dicacati, apakah dengan dicongkel matanya, dipotong hidungnya, kemaluannnya dan lain-lainnya walaupun dengan alasan menghinakan orang kafir. Semua itu dilarang dalam Islam.
  6. Tidak membunuh anak-anak, karena mereka bukan umur perang.
    Kami kira aturan ini dikenal banyak manusia bahkan dalam hukum “positif” orang-orang kafir sekalipun.
    Termasuk yang tidak boleh dibunuh dalam perang selain anak-anak adalah wanita, orang tua renta dan para pekerja, buruh dan petani yang tidak ikut andil dalam peperangan.
    Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam berjalan bersama pasukannya. Kemudian beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid Radhiallahu ‘anhu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau membunuh dzurriyah (wanita dan anak-anak) dan pekerja. (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
Katakan kepada Khalid: Jangan ia membunuh wanita dan pekerja. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Thahawi. Lihat Ash-Shahihah karya Syaikh Al-Albani 6/314)
  1. Menawarkan tiga pilihan kepada musuh sebelum berperang:
    • Mengajak kepada Islam. Jika mereka mau menerima Islam, maka berhentilah peperangan. Dan ajaklah untuk hijrah dari negeri mereka ke negeri kaum muslimin. Kalau mereka tidak mau hijrah, maka status mereka seperti orang-orang arab gunung (nomaden) yang muslim.
    • Jika mereka tidak mau menerima Islam, maka ajaklah untuk tunduk pada negara kaum muslimindan membayar upeti (jizyah) sebagai orang kafir dzimmi yang dilindungi.
    • Jika mereka menolak jizyah, maka berarti memilih yang ke tiga yaitu perang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah dan perangilah!”.
  2. Jika mereka meminta jaminan, maka berikan jaminan kalian secara pribadi, jangan mengatas-namakan Allah, yakni jangan memberi jaminan Allah. Karena kalau kalian melanggar jaminan kalian lebih ringan daripada melanggar jaminan Allah.Demikian pula ketika mereka meminta dihukumi dengan hukum Allah, maka katakanlah bahwa ini hukum yang kami putuskan, karena belum tentu kalian menepati hukum Allah.
Faedah terakhir ini memiliki makna yang sangat dalam. Karena kita diperintahkan untuk tidak menjatuhkan nama Allah dan nama Islam dengan perbuatan atau keputusan kita. Sehingga walaupun kita sudah berupaya untuk memutuskan sesuai dengan dalil-dalil dari Allah dan rasul-Nya, tapi tetap kita katakan kepada musuh-musuh kita bahwa ini adalah keputusan kami. Dengan kata lain ini ijtihad kami, sehingga kalau ternyata salah, maka itu kekeliruan kita, karena kurang memahami makna ayat dan hadits. Kalau tepat kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Berbeda dengan orang-orang yang sombong dan terlalu berani mengatasnamakan Allah atau Islam terhadap perbuatan yang mereka lakukan. Mereka membantai dan membunuh anak-anak serta para wanita, mengacau di mana-mana kemudian berkata: “Inilah Islam”, “Inilah perintah Allah”, yang ternyata mereka salah memahami arti jihad, salah memahami ayat dan hadits. Akibatnya orang-orang kafir dan orang-orang bodoh mengira bahwa Islam itu kejam, sadis, tidak punya perikemanusiaan. Sehingga jatuhlah nama Islam, karena perbuatan bodoh kelompok-kelompok sempalan yang menyimpang dari Islam tersebut. Silakan mereka periksa “jihad” mereka, apakah sudah mencocoki aturan-aturan sunnah di atas? Atau mereka sengaja ingin merusak gambaran Islam yang adil dan bijaksana? Maka para pemuda-pemuda muslim yang berjalan dengan emosinya dan tidak mau mengikuti bimbingan ayat-ayat dan hadits di atas, mereka bukan pengikut sunnah (ahlus sunnah), tapi pengikut emosi (ahlul ahwa). Yang mencoreng dan mengotori gambaran Islam yang akhirnya bertentangan dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri.
2.5 Peraturan Perang
Perang merupakan strategi keterpaksaan demi menolak permusuhan yang ditujukan kepada kaum muslim. Selain itu demi memutus segala fitnah yang ditimbulkan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum muslim. Semua peraturan yang diwajibkan oleh Islam untuk memelihara dan menjaga perdamaian dalam rangka meringankan bencana yang ditimbulkan oleh peperangan haruslah merupakan peraturan yang bersifat rahmat bagi manusia. Walaupun peraturan-peraturan yang ada dalam berbagai segi sesuai dengan peraturan internasional, namun selamanya masih juga terdapat perbedaan. Hal itu karena peraturan perang dalam Islam merupakan peraturan yang bersifat keagamaan yang diundangkan oleh agama. Adapun peraturan hukum internasional sama sekali tidak mempunyai kekuatan eksekutif yang menjamin atas pelaksanaanya. Bahkan sebagian peneliti berpendapat bahwa peraturan-peraturan internasional tidak dapat disebut sebagai undang-undang, kecuali jika memiliki suatu kekuatan yang mampu melindungi dan memaksa pelaksanaannya. Berdasarkan alasan tersebut, maka peraturan perang dalam Islam disyariatkan sebagai berikut:
1. Undang-undang internasional telah menetapkan bahwa negara yang terpaksa harus mengumumkan perang, sebelumnya wajib mengumumkan terlebih dahulu kepada negara lain trentang waktu mulainya perang itu.
2. Hukum internasional telah menetapkan dan mengakui bahwa, rakyat tidak boleh menimbulkan bahaya pada dirinya sendiri.
3. Menurut hukum nasional ada kewajiban untuk memberi perhatian serius kepada orang-orang sakit dan orang-orang terluka dalam perang.
4. Hukum internasional melarang mengadakan pembunuhan dan pemusnahan terhadap orang-orang yang terluka.
5. Menurut hukum internasional orang-orang yang tertahan boleh didesak dan dilemahkan sampai terpaksa harus menyerahkan diri.[Abdulwahabkhilaf, politikhukumislam, hal 103-111 ]
2.6  Analisis Hukum
Secara umum hukum perang adalah fardu kifayah, akan tetapi fardu kifayah ini akan berubah menjadi fardu ‘ain apabila umat muslim berada dalam keadaaan yang sangat lemah, fardu ‘ain ini bisa berlaku atas setiap individu muslim apabila terdapat satu di antara hal-hal berikut:
  1. Apabila pasukan muslim dan kafir sudah berhadapan. Dalam kondisi demikian , maka haram hukumnya bagi muslim yang berada dalam barisan itu melarikan diri, sebagai mana yang disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 15
  2. Pasukan kafir melakukan agresi ke negeri Islam. Ketika itu diseluruh penduduk wajib berperang mempertahankan tanah air dan kehormatan mereka (At-Taubah; 123)
  3. Ketika ada perintah dari pemerintah untuk melakukan peperangan (At-Taubah; 38)









BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø  Perang adalah sesuatu yang sangat tidak disukai manusia. Al-Quran juga mengatakan demikian. Ketika menyebutkan perintah perang Al-Quran sudah menggaris bawahi bahwa perang adalah sesuatu yang sangat dibenci manusia. Namun begitu, al-Quran juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik sesuatu yang tidak disukai itu terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia.

Ø  Sudah menjadi watak atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan sebuah kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Rasa damai dan aman merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian, diharapkan akan tercipta dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain.

Ø  Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi.

Ø  Jihad hanya boleh dideklarasikan jika kaum Muslim diserang terlebih dahulu. Sebaliknya  tidak diperkenankan memerangi mereka yang berdamai. Bahkan apabila perang terjadi, jika musuh menawarkan perdamaian, maka kita diwajibkan untuk menerimanya dan mengakhiri pertumpahan darah.

Ø  Perang merupakan strategi keterpaksaan demi menolak permusuhan yang ditujukan kepada kaum muslim. Selain itu demi memutus segala fitnah yang ditimbulkan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum muslim.




DAFTAR PUSTAKA
Eka Hendry Ar., Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan Perdamaian, Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2009.
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010.
www.wikipediaindonesia.com
http://blogeareksyariah.blogspot.com/2008/05/hukum-perang-dan-damai-dalam-islam.htm

URGENSI PEREMPUAN DI PARLEMEN PIDIE / SKRIPSI 1-3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan, artinya perempuan merupakan bagian dari masyarakat secara umumnya. pembahasan politik perempuan, perempuan di pandang sebagai bagian dari manusia yang harus hidup berdampingan dengan laki-laki,baik dalam kehidupan khusus (rumah tangga dengan suami dan anak atau dengan ayah dan saudara-saudaranya ), atau pun kehidupan umum ( di tengah-tengah masyarakat ), dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.maka urgensi representasi politik perempuan. secara keseluruhan dalam hal ini, sudut pandang yang dipakai tentu saja harus sama yaitu sudut pandang universal ( mencakup seluruh manusia ).
Perempuan dan politik menjadi isu global, baik dinegara maju maupun dinegara-negara berkembang seperti indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat di idam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwarisi oleh yunani jelas tidak mengikutkan perempuan dalam poliitik.[1] Persoalan ini di sebabkan masyarakat yang telah dibentuk oleh budaya nya masing-masing yang menekan kan  bahwa kedudukan perempuan masih berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dulu dalam bidang yang selalu di kaitkan dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki  oleh perempuan.
Persoalan representasi dalam politik sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai idiologi dan keterwakilan politik. idiologi dan keterwakilan politik terjun kadalam ruang politik. kedua, pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa islam telah memperkenal kan konnsep keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Ketiga, pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang bisa memasuki perempuan dan ada wilayah yang sama sekali tidak boleh di jamah oleh perempuan. Menurut kelompok ini yang menjadi wilayah politik perempuan adalah kaum ibu.[2]
Keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik  tentu tidak terlepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Metode pemilu di Indonesia saat ini  masih memakai pola suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di ruang-ruang publik, isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan, selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Masalah ini juga dapat kita temukan di daerah Aceh, Khususnya kabupaten Pidie.
Melihat garis benang mengenai permasalahan keterwakilan perempuan adalah karena tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional yaitu tuntutan agar perempuan seharusnya berada dalam perbuatan keputusan sebanding dengan keanggotaan perempuan dalam penduduk, seringkali dihadapkan dengan pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingan-kepentingan berbeda dari keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan.[3]
Seiring perkembangan zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang keras, bahkan “kotor” dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme di negara-negara Barat yang kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga) untuk bergerak memasuki berbagai bidang yang ada di sektor publik, termasuk di dalamnya bidang politik.
Dalam Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women) Pasal 1 dinyatakan bahwa: “perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination).[4]
Akhir abad ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections).[5]
Rendahnya kemampuan partai politik atas kader perempuan yang berkualitas seharusnya tidak lagi menjadi persoalan karena partai politik umumnya telah memiliki departemen, divisi dan organisasi sayap perempuan dalam struktur partai. Melalui struktur partai tersebut, parpol memiliki banyak peluang untuk memperluas jaringan kader perempuan dan mengoptimalisasikan kader perempuan untuk kegiatan partai, termasuk dalam pemilu. Dengan demikian, inti persoalan atas Urgensi Representasi perempuan dalam parlemen adalah "keengganan" dan "ketidak- mampuan" partai dalam memaksimalkan organisasi sayap perempuan dan mengembangkan kemampuan kader perempuan yang sudah ada. Hal ini sudah selayaknya menjadi persoalan parpol yang perlu dicermati, khususnya apabila ingin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan  kebijakan  yang  lebih  baik  untuk masyarakat.[6]Meningkatkan  keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi  keputusan- keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok perempuan dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai  sumber  dayyang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan.  Sejak  tahun  2002,  mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (SDM) setuju akan perlunya peningkatan  partisipasi  politik  perempuan  di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di DPR. Angka itu pun baru dapat diperoleh pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dan 2014 yang lalu.
Konvensi internasional tentang HAM ( hak asasi manusia ) merupakan  wujud nyata dari kepedulian masyarakat internasional akan paenegakan, perlindungan ,pengakuan,dan pemajuan ,dan pemajuan hak asasi manusia. Sehingga memajukan atau mempromosi Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun1993 juga mendukung  pemberdayaan perempuan. Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara negara barat dan negara-negara dunia ketiga yang menegaskan  kembali  konsep-konsep  universal  (universal),  tidak  terpisah satu hak dari hak lainnya (indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related), tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity).[7] Pasal 1/18 Deklarasi Wina menyatakan secara tegas bahwa “hak asasi perempuan serta anak adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).[8]
Dalam observasi awal, peneliti melihat saat ini sudah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi di Aceh, kapasitas mereka untuk terjun ke ranah politik pun sudah dapat dikatakan cukup. Akan tetapi selalu ada hambatan baik secara internal maupun faktor lingkungan yang mengakibatkan perempuan - perempuan Aceh enggan untuk terjun ke ranah politik. Kentalnya budaya patriarki, serta ada rasa  takut saat masyarakat  tidak ada yang memilih jika mereka mencalonkan diri ini merupakan persoalan mendasar yang mengakibatkan rendahnya pemberdayaan politik di Aceh.




[1]Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,Jakarta,2004,Hal.34
[2]Syafiq Hasyim, (2002). Perempuan dalam fiqih politik, isu-isu perempuan dalam islam hal 32
[3] Ramlan subakti, 2011 meningkatkan keterwakilan perempuan: penguatan kebijakan affirmasi . jakarta selatan: kemitraan bagi pembaruan tata pemerintah. Hal 15
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 258.
[5] Nadezhda  Shvedova,  Kendala-kendala  terhadap  Partisipasi  Perempuan  di  Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm 18
[6] Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan, dalam Azza Karam dan Julie Ballington (ed-),  Perempuan di Parlemen:  BukaSekedar  Jumlah,  BukaSekedar  Hiasan,  Jakarta:  Yayasan Jurnal  Perempuan.
[7] Ibid., hlm. 244-245
[8] Ibid., hlm. 259