BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat
terdiri dari laki-laki dan perempuan, artinya perempuan merupakan bagian dari
masyarakat secara umumnya. pembahasan politik perempuan, perempuan di pandang
sebagai bagian dari manusia yang harus hidup berdampingan dengan laki-laki,baik
dalam kehidupan khusus (rumah tangga dengan suami dan anak atau dengan ayah dan
saudara-saudaranya ), atau pun kehidupan umum ( di tengah-tengah masyarakat ),
dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.maka urgensi representasi
politik perempuan. secara keseluruhan dalam hal ini, sudut pandang yang dipakai
tentu saja harus sama yaitu sudut pandang universal ( mencakup seluruh manusia
).
Perempuan
dan politik menjadi isu global, baik dinegara maju maupun dinegara-negara
berkembang seperti indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep
“demokrasi” menjadi satu hal yang sangat di idam-idamkan namun sekaligus
menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwarisi oleh yunani jelas tidak
mengikutkan perempuan dalam poliitik.[1] Persoalan ini di sebabkan
masyarakat yang telah dibentuk oleh budaya nya masing-masing yang menekan
kan bahwa kedudukan perempuan masih
berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan sesuatu yang
berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dulu dalam bidang yang selalu di kaitkan
dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa
dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki
oleh perempuan.
Persoalan
representasi dalam politik sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai idiologi
dan keterwakilan politik. idiologi dan keterwakilan politik terjun kadalam
ruang politik. kedua, pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa islam
telah memperkenal kan konnsep keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Ketiga, pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik
tertentu yang bisa memasuki perempuan dan ada wilayah yang sama sekali tidak
boleh di jamah oleh perempuan. Menurut kelompok ini yang menjadi wilayah
politik perempuan adalah kaum ibu.[2]
Keterwakilan
perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah
perempuan dan politik tentu tidak
terlepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia.
Metode pemilu di Indonesia saat ini
masih memakai pola suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg
rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di
ruang-ruang publik, isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat
di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan,
selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai
pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Masalah ini juga dapat kita temukan
di daerah Aceh, Khususnya kabupaten Pidie.
Melihat
garis benang mengenai permasalahan keterwakilan perempuan adalah karena
tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional yaitu tuntutan agar
perempuan seharusnya berada dalam perbuatan keputusan sebanding dengan
keanggotaan perempuan dalam penduduk, seringkali dihadapkan dengan pernyataan bahwa
perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga
dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingan-kepentingan berbeda dari
keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan.[3]
Seiring perkembangan
zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi,
anggapan bahwa politik adalah
dunia laki-laki yang keras,
bahkan “kotor” dan tidak pantas
untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme
di negara-negara Barat yang kemudian
diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan
tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat
(rumah tangga) untuk bergerak
memasuki berbagai bidang yang ada di sektor
publik, termasuk di dalamnya
bidang politik.
Dalam Konvensi tentang
Hak-hak Politik Perempuan (The Convention
on the Political Rights for Women)
Pasal 1 dinyatakan bahwa: “perempuan berhak
memberikan suara dalam semua pemilihan dengan
status sama dengan pria tanpa diskriminasi”
(women
shall be entitled to vote in all elections
on equal terms with men without
any discrimination).[4]
Akhir abad ke-20, lebih dari
95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk
memilih (right to vote) dan hak untuk
mencalonkan diri dalam
pemilihan (right to stand for elections).[5]
Rendahnya kemampuan partai politik
atas kader
perempuan yang berkualitas
seharusnya tidak lagi menjadi persoalan
karena
partai politik umumnya
telah
memiliki departemen, divisi dan organisasi sayap
perempuan dalam struktur partai. Melalui struktur
partai tersebut, parpol memiliki
banyak peluang untuk
memperluas jaringan kader perempuan dan mengoptimalisasikan
kader perempuan
untuk kegiatan
partai, termasuk dalam pemilu. Dengan demikian,
inti
persoalan atas
Urgensi Representasi perempuan
dalam parlemen
adalah "keengganan" dan "ketidak- mampuan" partai dalam memaksimalkan organisasi
sayap
perempuan dan
mengembangkan kemampuan
kader perempuan yang sudah ada. Hal
ini sudah
selayaknya menjadi
persoalan parpol
yang perlu dicermati, khususnya apabila ingin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen
merupakan
hal yang sangat penting, karena diyakini dapat
memberikan perubahan
positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih
baik untuk masyarakat.[6]Meningkatkan keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan
keefektifan mereka dalam mempengaruhi keputusan-
keputusan
politik yang akan
dapat menjamin
hak-hak
kelompok perempuan dan masyarakat
luas, serta mengalokasikan berbagai
sumber
daya yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Meningkatkan jumlah
perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan. Sejak tahun 2002,
mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai
politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (SDM) setuju akan
perlunya peningkatan partisipasi politik
perempuan di Indonesia. Ada
banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian
menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik
di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis
perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di
DPR. Angka itu pun baru dapat diperoleh pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dan
2014 yang lalu.
Konvensi internasional tentang HAM ( hak asasi manusia )
merupakan wujud nyata dari kepedulian
masyarakat internasional akan paenegakan, perlindungan ,pengakuan,dan pemajuan
,dan pemajuan hak asasi manusia. Sehingga memajukan atau mempromosi Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun1993 juga mendukung
pemberdayaan perempuan.
Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara
negara
barat dan negara-negara
dunia ketiga yang menegaskan kembali konsep-konsep
universal (universal), tidak terpisah satu hak dari hak lainnya
(indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related),
tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity).[7]
Pasal 1/18 Deklarasi Wina
menyatakan secara
tegas
bahwa
“hak asasi perempuan serta anak
adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat
dipisahkan (indivisible).[8]
Dalam
observasi awal, peneliti melihat saat ini sudah banyak perempuan yang
berpendidikan tinggi di Aceh, kapasitas mereka untuk terjun ke ranah politik
pun sudah dapat dikatakan cukup. Akan tetapi selalu ada hambatan baik secara
internal maupun faktor lingkungan yang mengakibatkan perempuan - perempuan Aceh
enggan untuk terjun ke ranah politik. Kentalnya budaya patriarki, serta ada
rasa takut saat masyarakat tidak ada yang memilih jika mereka
mencalonkan diri ini merupakan persoalan mendasar yang mengakibatkan rendahnya
pemberdayaan politik di Aceh.
[1]Jurnal Perempuan No.34, Politik
dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,Jakarta,2004,Hal.34
[2]Syafiq Hasyim, (2002). Perempuan dalam fiqih politik, isu-isu
perempuan dalam islam hal 32
[3] Ramlan subakti, 2011
meningkatkan keterwakilan perempuan: penguatan kebijakan affirmasi . jakarta
selatan: kemitraan bagi pembaruan tata pemerintah. Hal 15
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2009, hlm. 258.
[5] Nadezhda Shvedova,
“Kendala-kendala
terhadap
Partisipasi Perempuan di Parlemen” dalam
Perempuan di Parlemen,
Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk,
penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm 18
[6] Azza Karam dan Joni Lovenduski, “Perempuan di Parlemen: Membuat
Perubahan,” dalam Azza Karam dan
Julie
Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen:
Bukan Sekedar Jumlah,
Bukan Sekedar Hiasan,
Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
No comments:
Post a Comment