Wednesday, March 23, 2016

URGENSI PEREMPUAN DI PARLEMEN PIDIE / SKRIPSI 1-3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan, artinya perempuan merupakan bagian dari masyarakat secara umumnya. pembahasan politik perempuan, perempuan di pandang sebagai bagian dari manusia yang harus hidup berdampingan dengan laki-laki,baik dalam kehidupan khusus (rumah tangga dengan suami dan anak atau dengan ayah dan saudara-saudaranya ), atau pun kehidupan umum ( di tengah-tengah masyarakat ), dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.maka urgensi representasi politik perempuan. secara keseluruhan dalam hal ini, sudut pandang yang dipakai tentu saja harus sama yaitu sudut pandang universal ( mencakup seluruh manusia ).
Perempuan dan politik menjadi isu global, baik dinegara maju maupun dinegara-negara berkembang seperti indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat di idam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwarisi oleh yunani jelas tidak mengikutkan perempuan dalam poliitik.[1] Persoalan ini di sebabkan masyarakat yang telah dibentuk oleh budaya nya masing-masing yang menekan kan  bahwa kedudukan perempuan masih berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dulu dalam bidang yang selalu di kaitkan dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki  oleh perempuan.
Persoalan representasi dalam politik sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai idiologi dan keterwakilan politik. idiologi dan keterwakilan politik terjun kadalam ruang politik. kedua, pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa islam telah memperkenal kan konnsep keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Ketiga, pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang bisa memasuki perempuan dan ada wilayah yang sama sekali tidak boleh di jamah oleh perempuan. Menurut kelompok ini yang menjadi wilayah politik perempuan adalah kaum ibu.[2]
Keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik  tentu tidak terlepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Metode pemilu di Indonesia saat ini  masih memakai pola suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di ruang-ruang publik, isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan, selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Masalah ini juga dapat kita temukan di daerah Aceh, Khususnya kabupaten Pidie.
Melihat garis benang mengenai permasalahan keterwakilan perempuan adalah karena tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional yaitu tuntutan agar perempuan seharusnya berada dalam perbuatan keputusan sebanding dengan keanggotaan perempuan dalam penduduk, seringkali dihadapkan dengan pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingan-kepentingan berbeda dari keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan.[3]
Seiring perkembangan zaman, modernisasi, serta globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, anggapan bahwa politik adalah dunia laki-laki yang keras, bahkan “kotor” dan tidak pantas untuk dimasuki oleh kaum perempuan seolah semakin memudar. Munculnya gerakan feminisme di negara-negara Barat yang kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia ketiga perlahan tetapi pasti berhasil mendobrak tradisi yang selama berabad-abad hanya menempatkan perempuan pada sektor privat (rumah tangga) untuk bergerak memasuki berbagai bidang yang ada di sektor publik, termasuk di dalamnya bidang politik.
Dalam Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on the Political Rights for Women) Pasal 1 dinyatakan bahwa: “perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi” (women shall be entitled to vote in all elections on equal terms with men without any discrimination).[4]
Akhir abad ke-20, lebih dari 95% negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar atau fundamental, yaitu hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections).[5]
Rendahnya kemampuan partai politik atas kader perempuan yang berkualitas seharusnya tidak lagi menjadi persoalan karena partai politik umumnya telah memiliki departemen, divisi dan organisasi sayap perempuan dalam struktur partai. Melalui struktur partai tersebut, parpol memiliki banyak peluang untuk memperluas jaringan kader perempuan dan mengoptimalisasikan kader perempuan untuk kegiatan partai, termasuk dalam pemilu. Dengan demikian, inti persoalan atas Urgensi Representasi perempuan dalam parlemen adalah "keengganan" dan "ketidak- mampuan" partai dalam memaksimalkan organisasi sayap perempuan dan mengembangkan kemampuan kader perempuan yang sudah ada. Hal ini sudah selayaknya menjadi persoalan parpol yang perlu dicermati, khususnya apabila ingin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan hal yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan  kebijakan  yang  lebih  baik  untuk masyarakat.[6]Meningkatkan  keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan keefektifan mereka dalam mempengaruhi  keputusan- keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok perempuan dan masyarakat luas, serta mengalokasikan berbagai  sumber  dayyang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang seringkali diperdebatkan.  Sejak  tahun  2002,  mayoritas para aktivis politik, tokoh-tokoh perempuan dalam partai politik, kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (SDM) setuju akan perlunya peningkatan  partisipasi  politik  perempuan  di Indonesia. Ada banyak alasan yang menjadikan isu ini menjadi topik perdebatan yang kian menghangat di Indonesia. Pertama, keterwakilan politik perempuan Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal masih sangat rendah. Secara historis perjalanan perempuan di dalam parlemen tidak pernah melebihi angka 18 persen di DPR. Angka itu pun baru dapat diperoleh pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dan 2014 yang lalu.
Konvensi internasional tentang HAM ( hak asasi manusia ) merupakan  wujud nyata dari kepedulian masyarakat internasional akan paenegakan, perlindungan ,pengakuan,dan pemajuan ,dan pemajuan hak asasi manusia. Sehingga memajukan atau mempromosi Deklarasi Wina (Vienna Declaration and Programme of Action) Tahun1993 juga mendukung  pemberdayaan perempuan. Deklarasi Wina merupakan hasil kompromi antara negara barat dan negara-negara dunia ketiga yang menegaskan  kembali  konsep-konsep  universal  (universal),  tidak  terpisah satu hak dari hak lainnya (indivisible), saling tergantung (interdependent), saling berhubungan (inter-related), tidak berpihak (non-selectivity) dan mempertahankan objektivitas (objectivity).[7] Pasal 1/18 Deklarasi Wina menyatakan secara tegas bahwa “hak asasi perempuan serta anak adalah bagian integral dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan tidak dapat dipisahkan (indivisible).[8]
Dalam observasi awal, peneliti melihat saat ini sudah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi di Aceh, kapasitas mereka untuk terjun ke ranah politik pun sudah dapat dikatakan cukup. Akan tetapi selalu ada hambatan baik secara internal maupun faktor lingkungan yang mengakibatkan perempuan - perempuan Aceh enggan untuk terjun ke ranah politik. Kentalnya budaya patriarki, serta ada rasa  takut saat masyarakat  tidak ada yang memilih jika mereka mencalonkan diri ini merupakan persoalan mendasar yang mengakibatkan rendahnya pemberdayaan politik di Aceh.




[1]Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,Jakarta,2004,Hal.34
[2]Syafiq Hasyim, (2002). Perempuan dalam fiqih politik, isu-isu perempuan dalam islam hal 32
[3] Ramlan subakti, 2011 meningkatkan keterwakilan perempuan: penguatan kebijakan affirmasi . jakarta selatan: kemitraan bagi pembaruan tata pemerintah. Hal 15
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 258.
[5] Nadezhda  Shvedova,  Kendala-kendala  terhadap  Partisipasi  Perempuan  di  Parlemen” dalam Perempuan di Parlemen, Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Azza Karam, dkk, penerjemah Arya Wisesa dan Widjanarko, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999, hlm 18
[6] Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan, dalam Azza Karam dan Julie Ballington (ed-),  Perempuan di Parlemen:  BukaSekedar  Jumlah,  BukaSekedar  Hiasan,  Jakarta:  Yayasan Jurnal  Perempuan.
[7] Ibid., hlm. 244-245
[8] Ibid., hlm. 259

No comments:

Post a Comment