Tema: Peran Pemuda dalam
Menjaga Kearifan Lokal Aceh
Subtema dipilih: Urgensi Pendidikan Kebudayaan bagi
Generasi Muda demi Menjaga Kearifan Lokal Aceh
muhammad iqbal*
PEMUDA
merupakan
tonggak peradaban. Sebagai
penerus bangsa, generasi muda
akan mengemban amanah dari pendahulunya. Di tangan pemuda, diharapkan kelak terjadi perubahan
kehidupan menuju arah
yang lebih baik. Namun,
sangat disayangkan, telah terjadi perubahan negatif dalam diri pemuda
akibat pengaruh globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai arif yang semula ditanamkan kepada
pemuda telah tergerus seiring perkembangan zaman.
Kecintaan
kepada bangsa semakin memudar. Pemuda Aceh telah kehilangan nilai-nilai yang
sudah lama ditanamkan oleh eundatu-nya. Pemuda
seolah sedang dimabuk dengan rayuan
budaya asing yang justru bertolak belakang dengan kultur masyarakat Aceh yang berlandaskan
pada nilai-nilai islami.
Pemuda yang semula diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan nilai-nilai
budaya kini justru terkesan mengacak-acaknya. Mereka kehilangan peranan yang
seharusnya menjadi motor penggerak kebangkitan Aceh.
Makna Pemuda
Pemuda, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai “orang
muda laki-laki; remaja; teruna”
yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 40/2009, dinyatakan bahwa: “Pemuda adalah
warga negara Indonesia yang memasuki periode penting
pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun”. Dalam Al-Quran Surat
Al-Anbiya ayat 59-60 menggambarkan bahwa pemuda adalah perombak dan
revolusioner terhadap tatanan sistem yang salah.
Seperti
gambaran kisah Nabi Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan
(perbuatan) ini terhadap Tuhan-tuhan
kami, sungguh dia termasuk orang-orang yang zalim’. Mereka (yang lain) berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang
mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim’.”
Apa pun defenisi
tentang pemuda, tentu mengarah pada sosok individu yang berusia
produktif serta berkarakter spesifik, yaitu
revolusioner, progresif, pemberani,
optimistik, berpikiran maju, dan memiliki integritas serta moralitas.
Keseluruhan itu menggambarkan bahwa pemuda memiliki power yang begitu luar biasa. Kelemahan pemuda sebagian terletak
pada pemikiran yang masih labil serta kontrol diri yang mudah emosional. Di balik itu semua
pemuda adalah karakter unik yang mampu menghadapi perubahan sekaligus
menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Pemuda sebagai agen of change diharapkan mampu memberikan krontribusi terhadap
kemajuan kehidupan baik dari segi ekonomi, pendidikan , politik, sosial dan
budaya.
Kearifan lokal kita
Hal inilah yang kurang tercermin dari pemuda Aceh
saat ini. Pemuda Aceh kini begitu disibukkan dengan hal-hal yang justru
berdampak negatif bagi dirinya dan bagi kemajuan Aceh secara keseluruhan.
Modernitas kini begitu mengagung di kalangan pemuda Aceh. Mulai dari cara berpakaian,
cara berbicara hingga berbagai tindakan yang harus disesuaikan dengan kemajuan
zaman hingga mengabaikan nilai kearifan lokal.
Aceh sebagai provinsi pertama di
Indonesia yang memelopori syariat Islam kini menjadi terbiasa dengan
praktik kotor seperti perjudian, minuman keras, obat terlarang (narkoba), dan perzinaan. Penyakit-penyakit sosial itu justru banyak digandrungi oleh pemuda. Tidak
hanya itu, teknologi yang semakin canggih membuat dunia seolah berada dalam
genggaman. Tidak adalagi sekat yang memishakan manusia. Perkembangan media
sosial (social media), seperti Facebook, Twitter hingga hadirnya sejumlah aplikasi terbaru sperti Wechat, Line, BlackBerry Messenger
(BBM) sedikit banyak telah menyita waktu mereka.
Kita dapat dengan mudah menemukan pemuda-pemuda, baik yang berstatus pelajar maupun mahasiswa, di warung internet dan sejumlah cafe yang menyediakan layanan wi-fi. Tidak hanya media sosial yang begitu dinikmati, game online juga menjadi salah satu permainan yang dianggap begitu menarik. Bahkan sebagian dari permainan ini dapat
digolongkan sebagai perjudian dalam dunia maya. Salah satunya adalah Texas Holdem Poker, salah satu jenis aplikasi judi online yang dapat
diakses melalui facebook.
Kita mungkin akan sangat sulit menemukan
pemuda-pemuda Aceh yang kritis terhadap perkembangan sosial dan ekonomi di sekitar mereka, di luar ruang
lingkup pelajar atau mahasiswa. Pelan-pelan budaya Aceh yang dijunjung tinggi
kini mulai terkontaminasi dengan budaya asing. Pemuda saat ini begitu terbiasa dengan hal-hal nyentrik. Dengan kondisi ini dapat dibayangkan gambaran
Aceh kedepan: kehilangan pemuda yang peduli nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya.
Selain itu masih ada segudang permasalahan yang
berkecamuk dalam diri pemuda Aceh. Banyak di antara pemuda
Aceh kurang mengerti atau bahkan sama sekali tidak mengerti tentang sejarah
Aceh. Bahkan untuk mampu memaknai budaya Aceh itu sendiri sangat kurang, seperti
makna dari Tari Ranup Lam Puan, Tari Seudati, dan Saman. Ini membuktikan kurangnya kecintaan untuk memelihara dan mempertahankan
nilai-nilai luhur yang ada di Aceh.
Peran penting dari pemuda adalah bagaiamana
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan Aceh sehingga menjadi daya
tarik tersendiri bagi orang lain. Hal tersebut mungkin pula akan menumbuhkan ketertarikan
sendiri bagi orang Aceh untuk mengenal lebih jauh budaya mereka sendiri. Kita
tidak bisa memungkiri banyak sekali manipulasi fakta terhadap sejarah Aceh. Dan
ini merupaan salah satu tugas pemuda untuk mempelajari dan meluruskan kembali
bagaiaman sebenarnya sejarah Aceh.
Pemuda yang seharusnya diharapkan menjaga
kearifan lokal (local wisdom) justru mengabaikannya. Local wisdom berasal dari dua kata: wisdom yang bermakna “kearifan” dan local
yang berarti “lokal atau setempat”. Kearifan lokal secara umum dapat diartikan sebagai gagasan,
nilai, pandangan setempat (lokal) yang merujuk pada
kebijaksanaan, penuh kearifan, bernilai baik, yang mengakar dan terus menerus
di pertahankan dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Melihat kondisi Aceh sekarang, mungkin tidak ada
tindakan khusus yang dilakukan pemuda dalam mempertahan nilai-nilai kearifan
lokal. Jika ada, itu hanya terjadi pada ruang lingkup yang masih sangat kecil
dan terbatas pada individu saja. Hal yang paling mencolok yang saya amati dari
perkembangan pemuda Aceh adalah sikap malu atau alergi untuk berbahasa Aceh yang baik dan benar. Bahkan
ketika ada sebagaian dari mereka berbicara dengan logat Aceh yang begitu kental, justru menjadi bahan tertawaan. Pengindonesian
bahasa Aceh di kalangan pemuda tanpa kita sadari telah mengurangi khasanah dari
bahasa Aceh itu sendiri. Padahal, bahasa daerah merupakan salah satu
komponen kearifan lokal.
Ini membuktikan bahwa kesadaran terhadap
pentinggnya mempertahankan nilai-nilai budaya lokal tidak sepenuhnya dimengerti
oleh pemuda. Yang paling mengherankan saya adalah
adanya sikap skeptis terhadap pakaian penutup aurat, sesuai anjuran syariat
Islam. Asumsinya: orang-orang yang menutup aurat secara benar dianggap sebagai orang-orang
kolot, jadul, primitif, kampungan, dan sebagainya. Bahkan lembaga pendidikan seperti dayah dianggap sebagai lambang dari
kemunduran intelektualitas pemuda. Problematika pemuda yang tergambar di hadapan kita sungguh kompleks dan ironi, mulai dari masalah krisis mental hingga krisis moral.
Budaya permisif dan pragmatisme yang membuat sebagian pemuda terjebak dalam
kehidupan hedonis, serba instan, dan lepas dari idealisme sehingga membentuk
sebuah sikap antisosial.
Pendidikan kebudayaan
Oleh
karena itu, pembangunan karakter (character
building) pemuda harusnya dilakukan
sejak dini. Di sini,
pendidikan kebudayaan harus digalakkan. Setiap orang, sebelum beranjak menjadi
pemuda, harus diberikan pemahaman tentang budaya lokal yang memuat
kearifan-kearifan hidup. “Doktrinasi kebudayaan” itu harus dilakukan tanpa
jeda, berkelanjutan, hingga membentuk kepribadian manusia yang peduli pada
kultur lokal serta semangat untuk mempertahankannya.
Pemuda yang terasing dari
nilai-nilai kearifan lokal tidak akan mampu membangun negara yang kokoh. Sebab
itu, negara mutlak harus memainkan peran. Salah satu langkah yang bisa
ditempuh, misalnya, mengendalikan akses ke situs-situs judi online. Belakangan pemerintah sudah
banyak memblokir aneka situs porno. Akan lebih strategis bila langkah serupa
dilakukan juga pada pemberantasan judi internet. Di samping itu, lembaga
pendidikan mesti memosisikan pendidikan kebudayaan dengan disiplin-disiplin
ilmu lainnya. Misalnya, ilmu budaya kemudian ditempatkan punya pengaruh
signifikan bersama ilmu politik.
Walaupun tidak bisa
dipungkiri bahwa pendidikan tentang peranan mempertahankan nilai-nilai kearifan
lokal telah sejak lama ditanamkan dalam institusi pendidikan, hal ini hanya
terbatas dalam ruang lingkup institusi pendidikan semata. Tidak ada proses perealisasian
dalam kehidupan sosial. Ia hanya menjadi penting dibicarakan dalam dunia
pendidikan namun ketika keluar dari ranah tersebut hal ini justru ditinggalkan.
Ini semacam alien yang begitu asing dalam dunia sosial.
Semestinya, pendidikan
kebudayaan–yang memuat pemahaman terhadap pentingnya mengekspresikan kearifan
lokal–menjadi satelit yang selalu disertakan dalam setiap pemberian materi
pendidikan apa pun. Misalnya, dalam kajian ilmu politik, budaya ditempatkan
sebagai penyandang. Lebih khusus, misalnya, pendidikan politik mesti melibatkan
pemahaman terhadap kearifan lokal, dimana persaingan dalam politik tidak perlu
diselesaikan dengan kekerasan, melainkan musyawarah dan perdamaian. Ini adalah
bentuk kearifan lokal yang bisa langsung diaplikasi dalam kehidupan sosial.
Lingkungan sosial juga mesti
berperan aktif, mengingat budaya paling banyak diekspresikan di kehidupan
sosial. Di Aceh, nilai-nilai kearifan lokal banyak diadopsi dari ajaran-ajaran
Islam. Maka strategi yang harus ditempuh: memperkuat peran institusi pendidikan
agama di desa-desa. Salah satu yang harus diselamatkan adalah budaya mufakat
dan gotong royong. Dua aktifitas kebudayaan ini tidak kita dapatkan dalam
peradaban Barat yang memuja habis-habisan partikularisme.
Terakhir, karena keluarga
adalah “dapur utama” dalam membentuk kepribadian pemuda, perannya juga harus
divitalkan. Orangtua harus merasa terdesak menyelamatkan kearifan lokal yang mulai pudar
dengan cara membentuk kepribadian anak yang bersedia hidup berdampingan dengan
kearifan lokalnya. Tidak hanya menempati ruang hidup, tapi mengabaikan kearifan
di dalamnya.. Anak adalah amanah dan sudah menjadi kewajiban
dari orangtua menjaga dan mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang
cerdas, bernasionalisme tinggi,
dan berakhlakul karimah. Orangtua ikut berperan dalam mencetak kader-kader
revolusioner demi kebangkitan Aceh di masa yang akan datang.
Muhammad iqbal, Mahasiswa
Program Studi Ilmu Politik Universitas
Malikussaleh
NIM: 120220003
E-mail . muhammadiqbals18@yahoo.com
No comments:
Post a Comment