Wednesday, March 23, 2016

Eksistensi Pemuda dalam Menjaga Kearifan Lokal Aceh

Tema: Peran Pemuda dalam Menjaga Kearifan Lokal Aceh
Subtema dipilih: Urgensi Pendidikan Kebudayaan bagi Generasi Muda demi Menjaga Kearifan Lokal Aceh


muhammad iqbal*

PEMUDA merupakan tonggak peradaban. Sebagai penerus bangsa, generasi muda akan mengemban amanah dari pendahulunya. Di tangan pemuda, diharapkan kelak terjadi perubahan kehidupan menuju arah yang lebih baik. Namun, sangat disayangkan, telah terjadi perubahan negatif dalam diri pemuda akibat pengaruh globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai arif yang semula ditanamkan kepada pemuda telah tergerus seiring perkembangan zaman.
Kecintaan kepada bangsa semakin memudar. Pemuda Aceh telah kehilangan nilai-nilai yang sudah lama ditanamkan oleh eundatu-nya. Pemuda seolah sedang dimabuk dengan rayuan budaya asing yang justru bertolak belakang dengan kultur masyarakat Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai islami. Pemuda yang semula diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan nilai-nilai budaya kini justru terkesan mengacak-acaknya. Mereka kehilangan peranan yang seharusnya menjadi motor penggerak kebangkitan Aceh.
Makna Pemuda
Pemuda, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “orang muda laki-laki; remaja; teruna yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 40/2009, dinyatakan bahwa: “Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun. Dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 59-60 menggambarkan bahwa pemuda adalah perombak dan revolusioner terhadap tatanan sistem yang salah.
Seperti gambaran kisah Nabi Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap Tuhan-tuhan kami, sungguh dia termasuk orang-orang yang zalim’. Mereka (yang lain) berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim.
Apa pun defenisi tentang pemuda, tentu mengarah pada sosok individu yang berusia produktif serta berkarakter spesifik, yaitu revolusioner, progresif, pemberani, optimistik, berpikiran maju, dan memiliki integritas serta moralitas. Keseluruhan itu menggambarkan bahwa pemuda memiliki power yang begitu luar biasa. Kelemahan pemuda sebagian terletak pada pemikiran yang masih labil serta kontrol diri yang mudah emosional. Di balik itu semua  pemuda adalah karakter unik yang mampu menghadapi perubahan sekaligus menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Pemuda sebagai agen of change diharapkan mampu memberikan krontribusi terhadap kemajuan kehidupan baik dari segi ekonomi, pendidikan , politik, sosial dan budaya.
Kearifan lokal kita
Hal inilah yang kurang tercermin dari pemuda Aceh saat ini. Pemuda Aceh kini begitu disibukkan dengan hal-hal yang justru berdampak negatif bagi dirinya dan bagi kemajuan Aceh secara keseluruhan. Modernitas kini begitu mengagung di kalangan pemuda Aceh. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara hingga berbagai tindakan yang harus disesuaikan dengan kemajuan zaman hingga mengabaikan nilai kearifan lokal.
Aceh sebagai provinsi pertama di Indonesia yang memelopori syariat Islam kini menjadi terbiasa dengan praktik kotor seperti perjudian, minuman keras, obat terlarang (narkoba), dan perzinaan. Penyakit-penyakit sosial itu justru banyak digandrungi oleh pemuda. Tidak hanya itu, teknologi yang semakin canggih membuat dunia seolah berada dalam genggaman. Tidak adalagi sekat yang memishakan manusia. Perkembangan media sosial (social media), seperti Facebook, Twitter hingga hadirnya sejumlah aplikasi terbaru sperti Wechat, Line, BlackBerry Messenger (BBM) sedikit banyak telah menyita waktu mereka.
Kita dapat dengan mudah menemukan pemuda-pemuda, baik yang berstatus pelajar maupun mahasiswa, di warung internet dan sejumlah cafe yang menyediakan layanan wi-fi. Tidak hanya media sosial yang begitu dinikmati, game online juga menjadi salah satu permainan yang dianggap begitu menarik. Bahkan sebagian dari permainan ini dapat digolongkan sebagai perjudian dalam dunia maya. Salah satunya adalah Texas Holdem Poker, salah satu jenis aplikasi judi online yang dapat diakses melalui facebook.
Kita mungkin akan sangat sulit menemukan pemuda-pemuda Aceh yang kritis terhadap perkembangan sosial dan ekonomi di sekitar mereka, di luar ruang lingkup pelajar atau mahasiswa. Pelan-pelan budaya Aceh yang dijunjung tinggi kini mulai terkontaminasi dengan budaya asing. Pemuda saat ini begitu terbiasa dengan hal-hal nyentrik. Dengan kondisi ini dapat dibayangkan gambaran Aceh kedepan: kehilangan pemuda yang peduli nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya.
Selain itu masih ada segudang permasalahan yang berkecamuk dalam diri pemuda Aceh. Banyak di antara pemuda Aceh kurang mengerti atau bahkan sama sekali tidak mengerti tentang sejarah Aceh. Bahkan untuk mampu memaknai budaya Aceh itu sendiri sangat kurang, seperti makna dari Tari Ranup Lam Puan, Tari Seudati, dan Saman.  Ini membuktikan kurangnya kecintaan untuk memelihara dan mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada di Aceh.
Peran penting dari pemuda adalah bagaiamana memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan Aceh sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi orang lain. Hal tersebut mungkin pula akan menumbuhkan ketertarikan sendiri bagi orang Aceh untuk mengenal lebih jauh budaya mereka sendiri. Kita tidak bisa memungkiri banyak sekali manipulasi fakta terhadap sejarah Aceh. Dan ini merupaan salah satu tugas pemuda untuk mempelajari dan meluruskan kembali bagaiaman sebenarnya sejarah Aceh.
Pemuda yang seharusnya diharapkan menjaga kearifan lokal (local wisdom) justru mengabaikannya. Local wisdom berasal dari dua kata: wisdom yang bermakna “kearifan” dan local yang berarti “lokal atau setempat”. Kearifan lokal  secara umum dapat diartikan sebagai gagasan, nilai, pandangan setempat (lokal) yang merujuk pada kebijaksanaan, penuh kearifan, bernilai baik, yang mengakar dan terus menerus di pertahankan dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Melihat kondisi Aceh sekarang, mungkin tidak ada tindakan khusus yang dilakukan pemuda dalam mempertahan nilai-nilai kearifan lokal. Jika ada, itu hanya terjadi pada ruang lingkup yang masih sangat kecil dan terbatas pada individu saja. Hal yang paling mencolok yang saya amati dari perkembangan pemuda Aceh adalah sikap malu atau alergi untuk berbahasa Aceh yang baik dan benar. Bahkan ketika ada sebagaian dari mereka berbicara dengan logat Aceh yang begitu kental, justru menjadi bahan tertawaan. Pengindonesian bahasa Aceh di kalangan pemuda tanpa kita sadari telah mengurangi khasanah dari bahasa Aceh itu sendiri. Padahal, bahasa daerah merupakan salah satu komponen kearifan lokal.
Ini membuktikan bahwa kesadaran terhadap pentinggnya mempertahankan nilai-nilai budaya lokal tidak sepenuhnya dimengerti oleh pemuda. Yang paling mengherankan saya adalah adanya sikap skeptis terhadap pakaian penutup aurat, sesuai anjuran syariat Islam. Asumsinya: orang-orang yang menutup aurat secara benar dianggap sebagai orang-orang kolot, jadul, primitif, kampungan, dan sebagainya. Bahkan lembaga pendidikan seperti dayah dianggap sebagai lambang dari kemunduran intelektualitas pemuda. Problematika pemuda yang tergambar di hadapan kita sungguh kompleks dan ironi, mulai dari masalah krisis mental hingga krisis moral. Budaya permisif dan pragmatisme yang membuat sebagian pemuda terjebak dalam kehidupan hedonis, serba instan, dan lepas dari idealisme sehingga membentuk sebuah sikap antisosial.
            Pendidikan kebudayaan
Oleh karena itu, pembangunan karakter (character building) pemuda harusnya dilakukan sejak dini. Di sini, pendidikan kebudayaan harus digalakkan. Setiap orang, sebelum beranjak menjadi pemuda, harus diberikan pemahaman tentang budaya lokal yang memuat kearifan-kearifan hidup. “Doktrinasi kebudayaan” itu harus dilakukan tanpa jeda, berkelanjutan, hingga membentuk kepribadian manusia yang peduli pada kultur lokal serta semangat untuk mempertahankannya.
Pemuda yang terasing dari nilai-nilai kearifan lokal tidak akan mampu membangun negara yang kokoh. Sebab itu, negara mutlak harus memainkan peran. Salah satu langkah yang bisa ditempuh, misalnya, mengendalikan akses ke situs-situs judi online. Belakangan pemerintah sudah banyak memblokir aneka situs porno. Akan lebih strategis bila langkah serupa dilakukan juga pada pemberantasan judi internet. Di samping itu, lembaga pendidikan mesti memosisikan pendidikan kebudayaan dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Misalnya, ilmu budaya kemudian ditempatkan punya pengaruh signifikan bersama ilmu politik.
Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan tentang peranan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal telah sejak lama ditanamkan dalam institusi pendidikan, hal ini hanya terbatas dalam ruang lingkup institusi pendidikan semata. Tidak ada proses perealisasian dalam kehidupan sosial. Ia hanya menjadi penting dibicarakan dalam dunia pendidikan namun ketika keluar dari ranah tersebut hal ini justru ditinggalkan. Ini semacam alien yang begitu asing dalam dunia sosial.
Semestinya, pendidikan kebudayaan–yang memuat pemahaman terhadap pentingnya mengekspresikan kearifan lokal–menjadi satelit yang selalu disertakan dalam setiap pemberian materi pendidikan apa pun. Misalnya, dalam kajian ilmu politik, budaya ditempatkan sebagai penyandang. Lebih khusus, misalnya, pendidikan politik mesti melibatkan pemahaman terhadap kearifan lokal, dimana persaingan dalam politik tidak perlu diselesaikan dengan kekerasan, melainkan musyawarah dan perdamaian. Ini adalah bentuk kearifan lokal yang bisa langsung diaplikasi dalam kehidupan sosial.
Lingkungan sosial juga mesti berperan aktif, mengingat budaya paling banyak diekspresikan di kehidupan sosial. Di Aceh, nilai-nilai kearifan lokal banyak diadopsi dari ajaran-ajaran Islam. Maka strategi yang harus ditempuh: memperkuat peran institusi pendidikan agama di desa-desa. Salah satu yang harus diselamatkan adalah budaya mufakat dan gotong royong. Dua aktifitas kebudayaan ini tidak kita dapatkan dalam peradaban Barat yang memuja habis-habisan partikularisme.
Terakhir, karena keluarga adalah “dapur utama” dalam membentuk kepribadian pemuda, perannya juga harus divitalkan. Orangtua harus merasa terdesak menyelamatkan kearifan lokal yang mulai pudar dengan cara membentuk kepribadian anak yang bersedia hidup berdampingan dengan kearifan lokalnya. Tidak hanya menempati ruang hidup, tapi mengabaikan kearifan di dalamnya.. Anak adalah amanah dan sudah menjadi kewajiban dari orangtua menjaga dan mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang cerdas, bernasionalisme tinggi, dan berakhlakul karimah. Orangtua ikut berperan dalam mencetak kader-kader revolusioner demi kebangkitan Aceh di masa yang akan datang.
 Muhammad iqbal, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh
NIM: 120220003
E-mail . muhammadiqbals18@yahoo.com



No comments:

Post a Comment