MASIH INGIN MERDEKA?
M Iqbal laweueng*
SEORANG pegiat demokrasi asal Belanda dibuat gelagapan dalam sebuah diskusi. Oleh seorang teman, ia diberi sebuah pertanyaan: “Bang MUL, setuju nggak kalau Aceh merdeka dari Indonesia?”
Seketika si pegiat demokrasi gugup.
Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Bibirnya
bergetar. Sambil mengusap dahi, ia berkata, “Saya bingung harus jawab apa. Saya
harus cari jawaban diplomatis”. Saya terkekeh mendengar jawaban tersebut.
Tak
lama berselang, jawaban diplomatis pun muncul. Katanya, ia tak suka kekerasan,
tak ingin ada perang lagi di Aceh. Dia pun bertanya pada saya: “Apakah kamu
suka hidup terus dalam perang?” Saya jawab: Tidak! Memang banyak orang yang tak
ingin lagi berperang, atau hidup di dalamnya, tetapi hasrat untuk merdeka tak
sepenuhnya lenyap.
Perang
bisa jadi bukan sebuah kondisi ideal dalam kehidupan. Sebaliknya, perang bisa
jadi merupakan sebuah fase menuju kehidupan ideal. Demokrasi, misalnya, akan
terabaikan tatkala sebuah negara dilanda perang. Jika demokrasi mengandaikan
tatanan kehidupan yang damai, perang justru sebaliknya: kekerasan, pemerkosaan,
ketakutan, kengerian, diproduksi di dalamnya.
Di
sisi lain, perang bisa menjadi sebuah keharusan untuk mencapai kehidupan ideal.
Jika upaya meraih kehidupan yang damai terusik oleh gangguan-gangguan, dan itu
tak dapat dimusnahkan dengan “tak menembakkan sebutir peluru pun”, maka perang
adalah pilihan yang harus ditempuh untuk menghancurkan hambatan tersebut.
Jika
mencermati apa yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam, juga yang terjadi di
sejumlah negara-negara Timur Tengah belakangan ini, perang dilakukan sebagai
bentuk perlawanan terhadap negara yang tak bisa berlaku adil. Di Suriah,
misalnya, oleh kaum oposisi, perang dianggap fase yang harus dilewati untuk
menuju kondisi kehidupan ideal, untuk menciptakan demokrasi. Dalam perang
memang penuh pembusukan, tetapi perang bisa menjadi suatu fase pengakhiran
pembusukan, untuk menuju kehidupan idaman.
Gerakan
Aceh Merdeka muncul sebagai upaya menghancurkan pembusukan yang dialami Aceh,
yang bersumber dari negara induk.
Aceh pernah dilanda beberapa fase perang, yang di dalamnya berbagai bentuk
pembusukan terjadi: pengkhianatan, wanita-wanita diperkosa, anak yatim-piatu
terlantar, gedung sekolah dibakar, wartawan dibunuh, sentimen antaretnis, dan
sebagainya. Meski tak melahirkan pemenang dan pecundang, pembusukan telah
berlalu. Kini siklusnya mengarah pada perubahan.
Namun,
seperti asumsi Plato, perubahan sarat akan pembusukan baru. Semua negara yang
sedang atau terus berubah, ditakdirkan membusuk: transisi dari fase negara
sempurna yang mengalami pembusukan, lalu pembusukan itu dihancurkan dengan
menciptakan perubahan, kemudian dalam perubahan itu terjadi pembusukan lagi,
dan seterusnya. Dalam perubahan itu juga terjadi pembuangan atas beberapa sifat
asal obyek yang berubah,
sementara di lain hal tetap mewarisi sifat yang dianggap masih televan (Karl
Popper, Masyarakat Terbuka dan
Musuh-musuhnya, 1950).
Membaca berbagai dokumentasi sejarah mengenai
kegemilangan Aceh di masa lampau, layaklah fase kerajaan dianggap sebagai
kondisi sempurna. Dengan sistem kerajaan, Aceh menjadi kekuatan besar di
berbagai bidang: pertahanan, adat, agama, ekonomi, budaya, dan politik.
Pembusukan hadir tatkala semua fantasi tersebut runtuh, digantikan berbagai
macam bentuk kemunduran
peradaban.
Jika
konflik yang terjadi beberapa tahun silam bisa dianggap sebagai fase
pembusukan, apakah saat ini, ketika perdamaian hadir, pembusukan tersebut telah
berakhir? Meski belum mencapai kesempurnaan, perubahan yang terjadi di Aceh
terus menuju perbaikan. Dalam pembenahan, kadangkala diselingi sedikit gesekan.
Itulah pembusukan kecilnya.
Pembusukan
kecil itu tak boleh diabaikan. Ia harus benar-benar dikubur. Akar kemunculannya
harus dicabut. Jika ada mantan kombatan GAM yang protes karena hidupnya saat
ini tak sejahtera, sementara yang lainnya hidup nikmat, akar masalahnya adalah
kesenjangan ekonomi. Obatnya adalah kebijakan pertumbuhan ekonomi yang merata. Jika
diabaikan, maka pembusukan semakin membesar dan menimpali kemajuan.
Sebagian
orang punya imaginasi ekstrem. Mereka ingin Aceh merdeka, dalam artian berdiri
sebagai sebuah negara berdaulat: punya wilayah, kekuatan militer, penduduk,
legitimasi internasional, pemerintah. Khayalan lain yang pernah diceritakan
pada saya: Aceh tak menjadi negara sekular seperti Indonesia, tetapi menjadi
negara Islam.
Aceh
tak boleh sekadar merdeka, namun harus menjadi negara yang benar-benar berbeda
dari Indonesia, terutama dalam aspek ideologi negara. Namun jalan meraih
kemerdekaan tak boleh dengan perang, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah,
tetapi harus lewat referendum. Begitu khayalannya.
Di
lain pihak, ada yang menganggap berpisahnya Aceh dari Indonesia adalah sesuatu
yang tak lagi relevan dibicarakan, apalagi diperjuangkan. Wacana paling relevan
dan mendesak untuk segera diperjuangkan saat ini adalah kemerdekaan
masyarakat dari kemiskinan,
memerangi aliran sesat yang mengganggu penegakan syariat Islam, memberantas
korupsi, membekuk aksi kriminal (terutama yang menggunakan senjata api),
perbaikian mutu pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah yang baik, dan–ini yang
paling penting–merawat perdamaian.
Saat
ini, perang harus dicegah. Pemerintah harus diberi kesempatan untuk fokus
membangun Aceh. Bagaiamana tidak lebih-lebih 2019 sekarang setelah pemilu PARLEMEN tanpa sadar sudah di rebutkan kan kembali oleh parnas. POLITIK ACEH SEDANG tidak STABIL dan NYAMAN, KARENA Perang adalah ketidakstabilan. Tanpa stabilitas, pembangunan
nihil dilakukan karena kekacauan akan mengganggunya.
Namun perang menjadi relevan untuk kembali dibicarakan, bahkan diperjuangkan, jika ada pengacau-pengacau yang hendak mengganggu proses pembangunan Aceh.
*Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas
Malikussaleh .
No comments:
Post a Comment