Sunday, May 12, 2019

PERJUANGAN ACEH ? PARLEMEN AJA DIKUASAI PARNAS 2019


MASIH INGIN MERDEKA?
M Iqbal laweueng*
            SEORANG pegiat demokrasi asal Belanda dibuat gelagapan dalam sebuah diskusi. Oleh seorang teman, ia diberi sebuah pertanyaan: “Bang MUL, setuju nggak kalau Aceh merdeka dari Indonesia?”
            Seketika si pegiat demokrasi gugup. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Bibirnya bergetar. Sambil mengusap dahi, ia berkata, “Saya bingung harus jawab apa. Saya harus cari jawaban diplomatis”. Saya terkekeh mendengar jawaban tersebut.
Tak lama berselang, jawaban diplomatis pun muncul. Katanya, ia tak suka kekerasan, tak ingin ada perang lagi di Aceh. Dia pun bertanya pada saya: “Apakah kamu suka hidup terus dalam perang?” Saya jawab: Tidak! Memang banyak orang yang tak ingin lagi berperang, atau hidup di dalamnya, tetapi hasrat untuk merdeka tak sepenuhnya lenyap.
Perang bisa jadi bukan sebuah kondisi ideal dalam kehidupan. Sebaliknya, perang bisa jadi merupakan sebuah fase menuju kehidupan ideal. Demokrasi, misalnya, akan terabaikan tatkala sebuah negara dilanda perang. Jika demokrasi mengandaikan tatanan kehidupan yang damai, perang justru sebaliknya: kekerasan, pemerkosaan, ketakutan, kengerian, diproduksi di dalamnya.
Di sisi lain, perang bisa menjadi sebuah keharusan untuk mencapai kehidupan ideal. Jika upaya meraih kehidupan yang damai terusik oleh gangguan-gangguan, dan itu tak dapat dimusnahkan dengan “tak menembakkan sebutir peluru pun”, maka perang adalah pilihan yang harus ditempuh untuk menghancurkan hambatan tersebut.
Jika mencermati apa yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam, juga yang terjadi di sejumlah negara-negara Timur Tengah belakangan ini, perang dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara yang tak bisa berlaku adil. Di Suriah, misalnya, oleh kaum oposisi, perang dianggap fase yang harus dilewati untuk menuju kondisi kehidupan ideal, untuk menciptakan demokrasi. Dalam perang memang penuh pembusukan, tetapi perang bisa menjadi suatu fase pengakhiran pembusukan, untuk menuju kehidupan idaman.
Gerakan Aceh Merdeka muncul sebagai upaya menghancurkan pembusukan yang dialami Aceh, yang bersumber dari negara induk. Aceh pernah dilanda beberapa fase perang, yang di dalamnya berbagai bentuk pembusukan terjadi: pengkhianatan, wanita-wanita diperkosa, anak yatim-piatu terlantar, gedung sekolah dibakar, wartawan dibunuh, sentimen antaretnis, dan sebagainya. Meski tak melahirkan pemenang dan pecundang, pembusukan telah berlalu. Kini siklusnya mengarah pada perubahan.
Namun, seperti asumsi Plato, perubahan sarat akan pembusukan baru. Semua negara yang sedang atau terus berubah, ditakdirkan membusuk: transisi dari fase negara sempurna yang mengalami pembusukan, lalu pembusukan itu dihancurkan dengan menciptakan perubahan, kemudian dalam perubahan itu terjadi pembusukan lagi, dan seterusnya. Dalam perubahan itu juga terjadi pembuangan atas beberapa sifat asal obyek yang berubah, sementara di lain hal tetap mewarisi sifat yang dianggap masih televan (Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, 1950).
 Membaca berbagai dokumentasi sejarah mengenai kegemilangan Aceh di masa lampau, layaklah fase kerajaan dianggap sebagai kondisi sempurna. Dengan sistem kerajaan, Aceh menjadi kekuatan besar di berbagai bidang: pertahanan, adat, agama, ekonomi, budaya, dan politik. Pembusukan hadir tatkala semua fantasi tersebut runtuh, digantikan berbagai macam bentuk kemunduran peradaban.
Jika konflik yang terjadi beberapa tahun silam bisa dianggap sebagai fase pembusukan, apakah saat ini, ketika perdamaian hadir, pembusukan tersebut telah berakhir? Meski belum mencapai kesempurnaan, perubahan yang terjadi di Aceh terus menuju perbaikan. Dalam pembenahan, kadangkala diselingi sedikit gesekan. Itulah pembusukan kecilnya.
Pembusukan kecil itu tak boleh diabaikan. Ia harus benar-benar dikubur. Akar kemunculannya harus dicabut. Jika ada mantan kombatan GAM yang protes karena hidupnya saat ini tak sejahtera, sementara yang lainnya hidup nikmat, akar masalahnya adalah kesenjangan ekonomi. Obatnya adalah kebijakan pertumbuhan ekonomi yang merata. Jika diabaikan, maka pembusukan semakin membesar dan menimpali kemajuan.
Sebagian orang punya imaginasi ekstrem. Mereka ingin Aceh merdeka, dalam artian berdiri sebagai sebuah negara berdaulat: punya wilayah, kekuatan militer, penduduk, legitimasi internasional, pemerintah. Khayalan lain yang pernah diceritakan pada saya: Aceh tak menjadi negara sekular seperti Indonesia, tetapi menjadi negara Islam.
Aceh tak boleh sekadar merdeka, namun harus menjadi negara yang benar-benar berbeda dari Indonesia, terutama dalam aspek ideologi negara. Namun jalan meraih kemerdekaan tak boleh dengan perang, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah, tetapi harus lewat referendum. Begitu khayalannya.
Di lain pihak, ada yang menganggap berpisahnya Aceh dari Indonesia adalah sesuatu yang tak lagi relevan dibicarakan, apalagi diperjuangkan. Wacana paling relevan dan mendesak untuk segera diperjuangkan saat ini adalah kemerdekaan masyarakat dari kemiskinan, memerangi aliran sesat yang mengganggu penegakan syariat Islam, memberantas korupsi, membekuk aksi kriminal (terutama yang menggunakan senjata api), perbaikian mutu pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah yang baik, dan–ini yang paling penting–merawat perdamaian.
Saat ini, perang harus dicegah. Pemerintah harus diberi kesempatan untuk fokus membangun Aceh. Bagaiamana tidak lebih-lebih 2019 sekarang setelah pemilu PARLEMEN tanpa sadar sudah di rebutkan kan kembali oleh parnas. POLITIK ACEH SEDANG tidak STABIL dan NYAMAN, KARENA Perang adalah ketidakstabilan. Tanpa stabilitas, pembangunan nihil dilakukan karena kekacauan akan mengganggunya.
Namun perang menjadi relevan untuk kembali dibicarakan, bahkan diperjuangkan, jika ada pengacau-pengacau yang hendak mengganggu proses pembangunan Aceh.
                                       *Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh .

No comments:

Post a Comment