Sunday, May 12, 2019

BAHAN MUHAZARAH/ CERAMAH MALAM PUASA tentang etika ISLAM

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Etika Terhadap Allah Dalam Pandangan Islam”.
            Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang bagaimana beretika kepada Allah SWT. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.




                                                                                                Muara tiga 10 Mei  2019

                                                                                                            Penulis







DAFTAR  ISI


KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I  .................................................................................................................................. 1
1.      Pendahuluan........................................................................................................ 1   
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
2.      Pembahasan......................................................................................................... 3
2.1   Etika Seorang Muslim Terhadap Allah Subhanahu
wa  Ta’aala......................................................................................... ........... 5

BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 9
Kesimpulan .............................................................................................................. ........... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ ...........








BAB I

1.      Pendahuluan

Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) ke arah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna. Oleh sebab itu di butuhkan landasan dalam bersika dan beretika.1

Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. [Burhanuddin Salam, Etika Sosial ]

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan. harus kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita.2

Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. [ Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas, 2002, v ]

Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang given  akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika terutama etika terhada Allah SWT.3



















 

2. http://duniabaca.com/pengertian-etika-dan-macam-macamnya.html
BAB II

2.      Pembahasan
Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156). Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher setiap manusia (QS. Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya. Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu: Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116). Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Allah SWT atas dirinya: (yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member petunjuk kepadaku, dan Yang member makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara': 78-80).

            Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT: Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?" Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).
Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak daripada manusia. 4
Setiap muslim meyakini bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya. Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.

Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah,maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. 5








2.1  Etika Seorang Muslim Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’aala
a.       Mengikhlaskan seluruh amal perbuatan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’aala semata.Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robbnya.” (QS. Al-Kahfi/18: 110)

b.       Berhati-hati dari terjerumus ke dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am/6: 88)

c.       Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala dan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya sesuai perintah.

d.      Mensyukuri semua nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’aala anugerahkan kepada diri kita.Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Dan (ingatlah juga), tatkala Robb-mu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrohiim/14: 7)

e.       Mengagungkan dan memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’aala serta mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya.

f.       Tidak mengatakan sesuatu apapun mengenai Allah Subhanahu wa Ta’aala melainkan dengan ilmu.Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Dan janganlah kamu mengatakan apa yang disebut-sebut oleh lidahmu yang dusta “Ini halal dan ini haram” untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah.” (QS. An-Nahl/13: 166)

g.      Menanamkan perasaan kepada diri bahwa Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa mengawasi segala amal perbuatan yang tampak dan tersembunyi. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman: “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghaabun/64: 4)

h.       Takut dan khawatir akan siksa Allah ‘Azza wa Jalla serta mengharap rahmat-Nya. Allah Ta’aala berfirman: “Dan hanya kepada-Ku lah kamu seharusnya takut.” (QS. Al-Baqoroh/2: 40) “Sesungguhnya azab Robbmu benar-benar keras.” (QS. Al-Buruuj/85: 12)

“Dan sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanya menanya. Mereka berkata: “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab)”. Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.” (QS. Ath-Thuur/52: 25-28)

i.        Bertaubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala serta memohon ampunan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampunan kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’/4: 64)

j.        Berdo’a merendahkan diri dan pasrah di hadapan Allah Tabaaroka wa Ta’aala. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Robb (yang lain)? Amat sedikitlah yang mengingati(Nya).” (QS. An-Naml/27: 62)
k.      Tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Tabaaroka wa Ta’aala berfirman: “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar/39: 53)

l.        Yakin bahwa segala kebaikan dan keburukan, kehidupan dan kematian hanya ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’aala.Allah Tabaaroka wa Ta’aala berfirman: “Barangsiapa yang dijauhkan azab dari padanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya, dan itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. Al-An’am/6: 16)

m.    Berprasangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla.Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Robbmu, ia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Fushshilat/41: 23)

n.      Sabar atas semua takdir Allah Tabaaroka wa Ta’aala, membenarkan setiap kabar dari-Nya, dan melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan kepada kita.        ZAllah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bersabarlah (dalam melakukan keta’atan dan menjauhi maksiat) dan kuatkanlah kesabaranmu.” (QS. Ali Imraan/3: 200)

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar/39: 10)

“Dan sesungguhnya Kami pasti akan menguji kamu hingga nyata dan terbukti mana orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu.” (QS. Muhammad/47:31)

o.      Berpegang teguh dengan ajaran Islam. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah.” (QS. Ali Imraan/3: 103)

p.      Mencintai Allah Subhanahu wa Ta’aala dan mencintai orang-orang yang mencintai-Nya serta memusuhi siapa saja yang memusuhi-Nya.

q.      Pasrah, tunduk dan patuh kepada (perintah) Allah Subhanahu wa Ta’aala. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Maka demi Robbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’/4: 65)

Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Sesungguhnya jawaban orang-orang yang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan; “Kami dengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur/24: 51)

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka terhadap peringatan Allah dan kepada kebenaran yang telah diturunkan kepada mereka, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Hadiid/57: 16)

r.        Berhukum dengan syari’at dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala pada seluruh aspek-aspek kehidupan.

s.       Senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’aala.

t.         Malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala dan sangat berhati-hati dari bermaksiat kepada-Nya serta menjauhi segala hal yang dapat mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla dan hukuman dari-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau azab yang pedih.” (QS. An-Nuur/24: 63). 6
 


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

v  Bahwa kesyukuran orang Muslim kepada Allah Ta‘ala atas nikmat-nikmat-Nya, rasa malunya kepada-Nya jika ia cenderung bermaksiat kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya, berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menetapi janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah Ta‘ala pasti melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan hamba-hamba-Nya adalah etika terhadap Allah Ta’ala. Semakin ia konsisten dengan etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi, kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak mendapatkan perlindungan Allah Ta’ala, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-Nya, dan sasaran nikmat-Nya.












DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002
Burhanuddin Salam, Etika Sosial : Rineka cipta 1997

No comments:

Post a Comment