Tuesday, May 14, 2019

Usaha mempermudah pemberdayaan gampong / Modal Usaha PNPM dan Politik praktis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
            Indonesia merupakan salah satu negara berkembang. Kemiskinan adalah hal yang tidak lepas dari negara berkembang. Dari masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan program-program yang salah satunya yaitu pemberdayaan masyarakat.
            Pemberdayaan merupakan usaha-usaha untuk mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat, diarahkan pada perekonomian yang mandiri berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran dari seluruh anggota masyarakat, (Murbyarto, 2002:7)
            Pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah akan berhasil dengan dukungan dari setiap lingkungan masyarakat itu sendiri. Hal ini dilihat dari program pemerintah khususnya penanggulangan kemiskinan yang disebut Inpres Desa Tertinggal (IDT) melalui Inpres No.5 tahun 1993. Sasaran IDT adalah desa-desa miskin. Program IDT pada hakekatnya merupakan bagian penting dari gerakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan sekaligus sebagai strategi mengembangkan ekonomi rakyat. Dana program IDT adalah modal usaha yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok miskin untuk kegiatan sosial ekonomi yang bersifat produktif.
            Pemanfaatan dana tersebut disesuaikan dengan kemampuan, pengetahuan dan kemauan kelompok miskin itu sendiri. Dana program IDT merupakan pinjaman yang harus dikembalikan oleh anggota lain dalam satu kelompok, kelompok lain yang belum mendapatkan bantuan dana IDT dapat juga dikembangkan dengan dana simpan pinjam, (Sunyoto,2010:48)
Usaha mempermudah pemberdayaan gampong untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan membentuk hubungan kerja sama, dan membentuk kelompok-kelompok dalam wadah yang memungkinkan masyarakat dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Dimana pembentukan sebuah organisasi yang merupakan suatu unit yang terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang, berfungsi mencapai satu sasaran atau serangkaian saran,(Veithzal Dkk,2011:169)
Pemberdayaan gampong merupakan seluruh kegiatan pemberdayaan yang berlangsung di gampong meliputi seluruh ruang lingkup kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong-royong, dan memanfaatkan secara optimal potensi sumber daya alam dan mengembangkan sumber daya manusianya dengan meningkatkan kualitas hidup, keterampilan, maupun bantuan dana dari aparatur pemerintah sesuai dengan bidang dan tugas masaing-masing.
Kemiskinan yang dialami masyarakat sekarang merupakan kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi akibat adanya ketimpangan sosial dan peraturan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat yang justru tidak berkesinambungan dengan kelompok miskin.
Kemiskinan dekat dengan perempuan, dikarenakan perempuan terpinggirkan dalam aspek ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Sebenarnya perempuan lebih mengerti dengan kebutuhan rumah tangga dibandingkan dengan laki-laki, dari segi pangan maupun sandang.
Masyarakat gampong Mesjid Andeue, istilah pemberdayaan sudah banyak yang memahami, hal ini disebabkan oleh banyaknya program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan pada masyarakat gampong Mesjid Andeue, akan tetapi program-program pemberdayaan masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak dirasakan secara maksimal oleh setiap masyarakat. Sedangkan tujuan utama dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk menstabilkan kehidupannya, sebagaimana yang tercantum dalam ideologi Indonesia yaitu kesejahteraan masyarakat. Artinya bahwa adanya program pemberdayaan masyarakat yang dikhususkan pada kaum perempuan, masyarakat gampong Mesjid Andeue dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri, dan dapat memperbaiki kondisi ekonominya secara individu.
Ada beberapa program pemberdayaan yang diterima oleh masyarakat gampong Mesjid Andeue yaitu pemberian modal usaha, baik untuk membuka usaha maupun untuk pertanian dan infrastruktur. Program pemberdayaan tersebut merupakan turunan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri dijalankan pada tahun 2007 sampai tahun 2015. Dana dari PNPM Mandiri 25% digunakan untuk modal usaha dan 75% digunakan untuk infrastruktur. Pemberian modal usaha yang dikhususkan untuk membuka usaha diberikan kepada perempuan yang disebut dengan Simpan Pinjam Perempuan (SPP).
Gampong Mesjid Andeue memiliki empat (4) kelompok Simpan Pinjam Perempuan yaitu Kelompok Mawar yang terdiri dari 12 anggota, Kelompok Sapee Pakat yang terdiri dari 10 anggota, Kelompok Ibu Tani yang terdiri dari 12 anggota, dan Kelompok Ingin Maju yang anggotanya terdiri dari 12 anggota, dari jumlah penduduk enam ratus tujuh puluh tiga (673) jiwa dengan jumlah Kartu Kependudukan (KK) seratus empat puluh dua (142).
Perempuan yang menerima modal tersebut dituntut untuk membuka usaha mikro. Modal yang diberikan oleh pemerintah bervariasi, mulai dari 2 juta, 3 juta sampai 10 juta. Tergantung kebutuhan perempuan itu sendiri untuk membuka usaha. Modal usaha yang diberikan untuk masyarakat gampong Mesjid Andeue diharapkan dapat menghidupkan usaha-usaha yang berpotensi nilai ekonomi jangka panjang, sehingga pemberdayaan untuk perempuan berjalan dengan maksimal.
Kelompok Simpan Pinjam Perempuan memiliki tujuan yaitu meningkatkan pendapatan anggota, meningkatkan nilai tambah hasil produksi anggota, membantu pengembangan usaha anggota, menumbuh gerakan gotong royong, dan membantu meningkatkan taraf hidup anggota.
Namun pada umumnya masyarakat gampong Mesjid Andeue yang termasuk anggota SPP tidak menggunakan modal tersebut untuk membuka usaha. Akan tetapi, modal usaha tersebut banyak digunakan untuk keperluan yang bersifat sementara, sehingga modal tersebut habis dengan sendirinya. Penerima modal menggunakan dana tersebut untuk membeli kebutuhan rumah tangga, perabot rumah tangga dan juga merehap rumah.
Dari latar belakang di atas dapat dilihat bahwa pemberdayaan masyarakat melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP)  untuk menuntaskan kemiskinan, tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat gampong Mesjid Andeue menimbulkan masalah. Maka penulis tertarik melihat secara mendalam hal-hal di atas dengan penelitian deskriptif. Dengan judul penulisan: “Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP). (Studi Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie)”.

1.2              Rumusan Masalah
            Dengan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.       Bagaimana evaluasi program pemberdayaan masyarakat melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie?
2.    Apa saja hambatan pemberdayaan masyarakat gampong Mesjid Andeue kecamatan Mila kabupaten Pidie melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP)?

1.3              Fokus Penelitian
            Dengan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Evaluasi pemberdayaan masyarakat melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
2.         Hambatan pemberdayaan masyarakat gampong Mesjid Andeue kecamatan Mila kabupaten Pidie melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP).
1.4       Tujuan Penelitian
            Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah:
1.             Mengetahui dan mendeskripsikan evaluasi pemberdayaan masyarakat melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
2.             Mengetahui dan menjelaskan hambatan pemberdayaan masyarakat Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP).

1.5                  Manfaat Penelitian
            Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penulisan ini adalah:
1.      Manfaat Teoritis
Menjadi salah satu kontribusi akademis dalam mengembangkan konsep-konsep dan teori-teori pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri khususnya di Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.
2.      Manfaat Praktis
Hasil yang dicapai dari penelitian dan penulisan ini diharapkan menjadi masukan bagi peneliti dalam memahami dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang diberikan PNPM Mandiri tidak digunakan untuk membuka usaha oleh masyarakat Gampong Mesjid Andeue Kecamatan Mila Kabupaten Pidie.

Terima kasih " silahkan bertanya di kolom komentar"

Sunday, May 12, 2019

GERAKAN PEMILIH PEMULA DI KABUPATEN PIDIE / SKRIPSI KULIAH 1-3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Permasalahan
Pemilih pemula mayoritas memiliki rentang usia 17-21 tahun. mayoritas mereka adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan perkerja muda. Mereka merupakan yang sangat potensial dalam perolehan suara pada Pemilu. Perilaku pemilih pemula memiliki karakteristik yang biasanya masih labil dan apatis,         pengetahuan politiknya  kurang, cenderung mengikuti kelompok sepermainan dan mereka baru belajar politik khususnya dalam pemilihan umum (pemilu).
Selain itu, pemilih pemula juga pemilih yang ikut andil menentukan  pemimpin negeri ini tidak hanya pada pemilu pada tahun 2014 namun juga pemilu-pemilu selanjutnya. Perilaku mereka menjadi indikator kualitas  demokrasi secara substansial pada saat ini dan masa akan datang. Kondisi mereka masih labil dan mudah diberikan wawasan politik dan demokrasi secara benar baik dari suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Maka pemilih pemula masih terbuka menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menentukan pemimpin di Indonesia.
Perpolitikan juga pada saat ini telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia yang semakin kian terbuka dan transparan. Setelah orde baru tumbang, kini Indonesia secara dramatis telah melangkah ke tahapan demokrasi, perubahan-perubahan penting telah banyak terjadi seperti dari segi pranata, legal, dan institusional. Kita telah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, Suatu ritual demokrasi dimana partisipasi rakyat dibutuhkan dapat dilembagakan secara berkala dan regular.[1]
Pemahaman yang baik itu diharapkan bisa menjadikan pemilih pemula sehingga mempunyai motivasi untuk terus menjadi pemilih yang cerdas dan  tercapai tujuan pendidikan politik itu sendiri dan hal tersebut, merupakan manfaat dari pemilu, yakni pencerdasan politik karena belum punya pengalaman memilih dalam pemilu, mereka perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam  pemilu,  bagaimana tata cara menggunakan  hak  pilih dalam pemilu dan  sebagainya.  Pertanyaan  itu  penting  diajukan agar pemilih pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Pengaruh politik dan partisipasi politik pemilih merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perilaku politik pemilih merupakan aspek penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan suatu pemilihan umum.[2] Di dalam penelitian ini yang ingin ditekankan ialah bagaimana perilaku politik kaum muda (pemilih pemula) dalam pemilihan calon legeslatif.
Pemilihan legeslatif 2014 telah berjalan di Kabupaten Pidie, diantaranya adalah pemilihan calon DPR, DPD, DPRD yang di laksanakan pemilihan pada bulan april 2014, pemilihan calon DPR, DPD, DPRD ini diharapkan dapat membawa masyarakat Kabupaten Pidie kearah yang lebih demokratis. Pesta demokrasi ini sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat di Kabupaten Pidie, baik dari desa terpencil maupun kota.
Komisi Independen Pemilih (KIP) Pidie tetapkan 288.651 jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Presiden 2014 di Kabupaten Pidie, dan KIP melakukan pemutakhiran data Pemilih berpedoman pada Peraturan KPU nomor 9, prosesnya dimulai dari DPT Pemilu Legislatif 289.553 pemilih, kemudian Pemerintah (Kementerian Dalam Negeri)  memberikan data pemilih pemula, yang tepat angka kelahiran 9 Juli 2014 genap beusia 17 tahun.
Dengan demikian pemilih pemula merupakan pemilih yang sangat potensial. Namun, dari hasil observasi awal  menujukkan bahwa pemilih pemula kebanyakan tidak berpartisipasi, bahkan kebanyakan dari mereka berpartisipasi dalam pemilu  karena dipaksa. Salah satunya karena dipaksa oleh orang tuanya, persepsi memilih pemimpin itu tidak penting, sehingga mereka memilih pemimpin mengikuti apa yang dipilih oleh orang tuanya. Selain itu banyakdi   kalangan pemilih pemula tidak mendapatkan sosialisasi politik dan pendidikan  politik dari pihak mana pun. (Rizqan kamil, Mahasiswa Universitas Syiah Kuala jurusan Ilmu Politik, wawancara tanggal 28 April 2015)
Dari data observasi awal tersebut menunjukkan bahwa pemilih pemula cenderung memilih karena adanya kekuatan emosional dari pihak tertentu contohnya orang tua atau keluarga. Mereka memilih karena mengikuti atau dipaksa. Mereka juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi politik dan pendidikan politik dari pihak manapun baik dari keluarga, KIP, partai politik dan pihak sekolah. Sehingga mereka tidak mengerti apa itu politik. Hal ini dikarenakan tidak tertanamnya pendidikan politik di dalam diri mereka.
Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pengaruh pemilih pemula dalam pemilihan legeslatif  tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie. Selain itu, peneliti juga menelusuri hal-hal yang mendasari dan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik kaum pelajar tersebut. Kaum muda adalah sebagai warga negara berhak untuk ikut dan berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum, khususnya pemilihan calon legeslatif di Kabupaten Pidie.
Kaum muda atau pelajar adalah salah satu generasi penerus masa depan. Tingkat pemikiran dan ideologi mereka lebih kritis dibandingkan dengan kaum tua. Hal ini sangat terlihat di setiap pemilihan umum, sasaran utama para kandidat adalah kaum muda.
Pemilih pemula merupakan sasarayang potensial untuk mendulang suara bagi partai politik dan para calon legislatif akan tetapi apabila mereka tidak diimbangi pengetahuan tentang politik oleh partai politik dan KIP maka mereka akan salah dalam menentukan pilihannya. Hal tersebut bisa dimengerti karena generasi muda sekarang kebanyakan tidak peduli tentang apa yang terjadi di dunia politik.  Mereka belum merasakan  ada  manfaat  langsung  pentingnya  kehidupan  politik  bagi merekaProses pembelajaran seharusnya tidak boleh berhenti, karena pengetahuan dan ilmu selalu berkembang dan memunculkan sesuatu yang baru.
Pendidikan politik bagi pemilih pemula sangat penting diadakan karena pemilih pemula yang baru memasuki usia hak pilih tentunya belum memiliki jangkauan politik  yang luas untuk menentukan kemana suara mereka akan dijatuhkan. Keberadaan pemilih pemula sering kali menjadi incaran bagi partai politik untuk mendulang suara. Para pemilih pemula ini umumnya belum terinformasikan serta tidak memiliki pendidikan politik memadai.
Fenomena dan keadaan politik jelang diadakannya pemilihan calon legeslatif  ini, yang sangat nampak adalah adu strategi yang di lakukan oleh masing-masing calon legeslatif ini. Setiap calon legeslatif memiliki strategi khusus dan tersendiri untuk meraih simpati dan dukungan dari para pemilih khususnya kaum-kaum muda.[3]
Dalam suatu kehidupan bernegara dan juga bermasyarakat, partisipasi kaum muda sangat dibutuhkan sebagai wujud dari kebersamaan dan keikutsertaan dalam proses politik tersebut. Partisipasi politik pada dasarnya adalah aspek penting dalam negara demokrasi dan juga menjadi penanda adanya modernisasi politik.
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Perilaku pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie.”
1.2  Fokus Penelitian
Untuk memperjelas permasalahan dalam penelitian ini, maka perlu adanya fokus penelitian sehingga adanya keseimbangan antara teori dengan realitas yang  tejadi  dilapangan.  Berdasarkan  rumusan  masalah  maka  yang  menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
1. Bentuk pengaruh pemilih pemula.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi politik pemilih pemula.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian diatas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah bentuk pengaruh pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 di kalangan pelajar di Kabupaten Pidie?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi politik pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk pengaruh pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi politik pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie.
1.5  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut :
1.5.1  Manfaat Akademis
·         Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pengembangan teori ilmu politik, khususnya dalam hal pengaruh politik pemilih pemula ini.
·         Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk peneliti selanjutnya.
1.5.2  Manfaat Praktis
·         Penelitian ini diharapkan dapat memperjelas tentang bentuk dan pengaruh politik dalam pembangunan perpolitikan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman para aktor politik tentang pengaruh politik pemula yang terjadi  di Indonesia khususnya di Kabupaten Pidie.






BAB II
                                             TINJAUAN PUSTAKA         
Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah:
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah dilakukan diantaranya :
Penelitian dilakukan oleh Syafrika Henri (2009) yang berjudul Partisipasi Politik Pemilih  Pemula pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 (Studi Di Kelurahan Penyengat Kecamatan Tanjung Pinang Kota). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui partisipasi politik pemilih pemula di Kelurahan Penyengat Kecamatan Tanjung Pinang Kota dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2009 Penelitian ini memaparkan pemilih pemula merupakan subjek  dan  objek  dalam  kegiatan politik, termasuk  didalamnya  kegiatan pemilihan umum.
Hasil menunjukkan pemilih pemula masih kurang aktif berpartisipasi pada pemilu Tahun 2009 hal ini dikarenakan para pemilih pemula tidak aktif dalam mencermati situasi yang dapat menambah pengetahuan mereka sendiri  terhadapemilusehingga mereka tidak kecewa. Belum  antusiasnya pemilih  pemula dala menyambut  pemilu  tahun 2009,  masih kurangnya kepercayaan  terhadap pemerintah dan  bakal  calon  legislatif  sehingga mengakibatkan kurangnya keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam  pemilu pada tahun 2009.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti bahwa keikutsertaan pemilih pemula dalam pemilu legislatif sangat minim.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jeli Indra (2013) yang berjudul Partisipasi Pemilih Perempuan pada Pemilu Legislatif  Tahun 2009 di Kabupaten Aceh Barat Daya tujuan penelitian tersebuat adalah untuk mengetahui dan menganalisis partisipasi pemilih pemula pada pemilu legislatif tahun 2009 di Aceh Barat Daya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pemilih perempuan pada pemilu legislatif tahun 2009 di kabupaten Aceh Barat Daya masih rendah. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa pemilih perempuan sebanyak 50% lebih banyak dibandingkan pemilih lelaki, besarnya jumlah perempuan Aceh Barat Daya yang terdaftar dalam pemilih tetap pada pemilu tersebut ternyata tidak mencerminkan tingkat partisipasi yang besar dalam proses politik tersebut. Pemilih perempuan pada pemilu legislatif 2009 tersebut lebih banyak tidak menggunakan hak pilihnya.
Rendahnya partisipasi pemilih perempuan pada pemilu legislatif 2009 di kabupaten Aceh Barat Daya dikarenakan beberapa faktoryaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman politik pemilih perempuan dalam proses politik, pendidikan politik yang masih rendah, melekatnya sistem patriarki dan kebiasaan adat-istiadat setempat.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti bahwa pemilih pemula kurang mendapatkan pendidikan politik sehingga mengaggap tidak memilih ataupun memilih tidak ada pengaruhnya bagi mereka.
Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Sari Narisyah Ayu (2012) dengan judul Partisipasi Politik etnis Tionghoa dalam Pemilihan Kepala Daerah 2006 (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh). Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan partisipasi etnis Tionghoa dalam pemilihan Kepala Daerah 2006 dan menjelaskan hambatan internal yang dihadapi etnis Tionghoa dalam memberikan partisipasinya.
Penelitian  tersebut  menggambarkan  partisipasi  etnis  Tionghoa yang aktif dalam pemilihan kepala daerah 11 Desember 2006 setelah dipresentasekan adalah sebanyak 58%. Sedangkan yang tidak ikut berpartisipasi sebanyak 42%   etnis Tionghoa tida mengikuti pemilihan kepala daerah dengan berbagai alasan dimulai dari tidak terdaftar dan tidak ada di tempat, alasatersebut bisa diakibatkan  karena pada tahun  2004 dimana Aceh pada masa itu masih membenahi diri. Hambatan-hambatan etnis Tionghoa dalam memberikan partisipasi politiknya didapat dua hasil yang tidak jauh beda yaitu hambatan pertama kesadaran politik yang menyangkut minat dan perhatian terhadap politik 42% dan kurang percaya terhadap pemerintah 28%.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti  bahwa  banyaknya  masyarakat  termasuk  pemilih  pemula  yang memilih untuk golput karena kurangnya kepercayaan terhadap para calon legislatif.
2.2 Tinjauan Pustaka
Tinjauan  pustaka disebagian literatur penulisan karya ilmiah disebut juga landasan teoritis, kerangka pemikiran atau kerangka konseptual. Dengan berdasarkan teoryang penulis gunakan maka akan menciptakan atau memecahkan masalah yang penulis kaji dan akan terlihat kerangka pemikiran atau alur pikir. Untuk mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori pemilih pemula dan teori marketing politik dan undang- undang pemilu legeslatif.
2.3 Teori Pemilih Pemula
Pengertian Pemilih pemula menurut   Undang-Undang   Nomor 10 tahun  2008  dalam  Bab  Ipasal  19  ayat  1  dan  2  serta  pasal  20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu.
Pemilih  pemula  sebagai  bagian  dari  komponen  bangsa,  pemuda tidak dapat melepaskan diri dan menghindar dari politik. Oleh karena hakekat  manusia  termasuk  pemuda  adalah  zoon  politicon  atau  mahluk politik. Keberadaan dan kiprah manusia termasuk pemilih pemula merupakan bagian dari produk politik dan terlibat baik langsung maupun tidak langsung, nyata maupun tidak nyata dalam kehidupan politik.[4]
Peran politik pemilih pemula dapat dilihat dari berbagai bentuk, diantaranya:
1. Partisipasi politik pemilih pemula sebagai bagian dari sistem politik yakni dalam supra struktur politik daInfra struktur politik. Dalam supra struktur politik, pemilih pemula merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pemerintahan. Sebagai warga negara setiap pemilih pemula harus memahami tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, termasuk melakukan bela negara. Dalam infra struktur politik, pemuda dapat berkiprah dalam kegiatan partai politik, pada kelompok kepentingan maupun kelompok penekan. Inilah arena politik yang dapat digunakan oleh pemilih pemula dalam berpartisipasi.
2. Menemukan kembali agenda perjuangan  sebagai  penjaga  idealisme gerakan, sebagaimana dulu pernah dicetuskan dalam beberapa agenda yang tercatat dalam sejarah bangsa.
3. Mengembalikan subtansi demokrasi sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial, sehingga pemilu bukan menjadi tujuan, melainkan alat yang seharusnya memberikan kebermafaatan bagi masyarakat Indonesia dengan efisien, dan efektif.
4. Sebagai langkah praktis, maka perlu kiranya pemilih pemula mengambil bagian terhadap terselenggaranya pemilu yang damai, arif dan bermartabat.
Partsipasi politik pemilih pemula dalam pemilu langsung menjadi sangat penting dan strategis oleh karena pemilih pemula sebagai agen perubahan harus dapat mengawal proses transisi demokrasi kearah yang lebih substantif yakni terlaksananya pemilu secara free dan fair. Untuk mengawal proses tersebut, pemilih pemula dapat berkiprah baik sebagai penyelenggara, peserta ataupun pengawas proses penyelenggaraan pilkada, pemilih pemula harus dapat tampil sebagai agen penjaga moral dan etika politik dalam proses demokrasi pemilih pemula harus dapat tampil sebagai penjag demokrasi menghormati   ha da kewajiba orang   lain, menghargai perbedaan pilihan dan tidak terjebak pada pragmatisme politik.
Komitmen yang kuat Integritas Kompetensi Konstituensi Agar kiprah, peran dan partisipasi politik pemuda dapat diperhitungkan, maka setiap pemilih pemula hendaknya memiliki daya tarik pemilih pemula bagi partai politik. Lahirnya dukungan dari pemilih pemula yang secara tidak langsung membawa dampak pencitraan berarti untuk pengamanan proses regenerasi kader politik itu sendiri kedepan. Sebagai lumbung emas suara kepada partai politik. Secara tidak langsung pemilu dapat menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini.
Mengembangkan pendidikan politik kepada para remaja agar mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang serta dapat menumbuhkan pengertian bagaimana menjalankan hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik.
(http://www.slideshare.net/muktarhelmi/persfektif-dan-orientasi-pemilih-pemula-pemilu-2014 diakses pada tanggal 20 april 2015).
2.3.1 Partisipasi Politik Pemilih Pemula
Kata partisipasi merupakan hal tentang turut berperan serta dalam suatu kegiatan,keikutsertaan atau berperan serta. Partisipasi politik adalah keikutsertaan  warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi kehidupannya, sejalan dengan itu Hebert menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan suka rela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.[5]
Menurut Micheal Rush dan Philips Althoff dalam buku  Political Expolrer (2012: 197) ,tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang diukur melalui tingkatan intensitas individu tersebut dalam kegiatan politik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan memilih pimpinan negara secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.[6]
Partisipasi politik menjadi beberapa kategori perilaku yakni :
1.      Apatis adalah orang-orang yang menarik diri sari proses politik.
2.      Spectator  adalah  orang-orang  yang  setidaknya  pernah  ikut  dalam pemilu.
3.      Gladiator adalah orang-orang yang selalu aktif terlibat dalam proses politik.
4.      Pengkritik yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk konvensional (Prihatmoko, 2008: 76).
Selain  itu  ada juga bentuk-bentuk  partisipasi  politik  yang berbeda.
Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi:
a)      Kegiatan pemilihan mencakup suara juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seseorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
b)      Lobbying mencakup upay perorangan   ata kelompok   untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
c)      Kegiatan  organisasi  menyangkut  partisipasi  sebagai  anggota  atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
d)     Mencari koneksi merupakan tindakan perorangan yang ditunjukkan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi segelintir orang.
e)      Tindak kekerasan merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan cara menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda (Samuel hutington,1994: 16).

Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara. Ada banyak bentuk partisipasi itu sendiri, diantaranya melalui pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye, ikut dalam partai politik dan lain sebagainya. Perilaku politik masyarakat itu sendiri dapat dilihat ketika masyarakat tersebut ikut partisipasi misalnya dalam pemilu. Rakyat membuat kontrak sosial dengan para pemimpin melalui pemilu. Pada saat pemilu rakyat dapat memilih figur yang dapat dipercaya untuk mengisi jabatan legislatif dan eksekutif. Di dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi syarat untuk memilih, secara bebas dan rahasia menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Oleh karena itu,  kekuasaan  yang  dimiliki  oleh  para  pemimpin  sekarang  bukanlah muncul  karena  dirinya  sendiri,  melainkan  titipan  dari  rakyat  melalui pemilu.
Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk mempengaruhi   pemulihan pejabat pemerintahan atau tindakan yang mereka ambil. Istilah itu menunjukkan bahwa pada dasarnya kita berkepentingan dalam partisipasi politik, yaitu dalam tindakan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusam pemerintah.[7]
Orang mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara. Cara-cara itu berbeda dalam tiga hal atau dimensi: gaya umum partisipasi, motif  yang  mendasari kegiatan mereka dan  konsekuensi  berpastisipasi pada peran seseorang dalam politik.[8]
Partisipasi politik pemilih pemula sebagai bagian dari sistem politik yakni dalam supra struktur politik dan Infra struktur politik. Dalam supra struktur politik, pemilih pemula merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pemerintahan.
2.3.2 Sosialisasi Politik Terhadap Pemilih Pemula
Sosialisasi  politik  merupakan  konsep  yang  diperkenalkan  oleh seorang  sarjana  Amerika  Robert  Hyman  pada  tahun  1950-an.  Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu proses penyerapan nilai dari lingkungan  sistem  politik  ataupun  masyarakat  terhadap  individatau terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan politik menyadari bahwa pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku  politik  selalu  terjadi  dan  merupakan  satu  proses  yang  penting artinya dalam kehidupan politik.
Sosialisasi  politik  berperan  pada  tingkat  keaktifan  masyarakat dalam  partisipasi  politik.  Sebagai  contoh  sosialisi  yang  baik  mengenai pemilu akan menambah masyarakat yang ikut memilih pada hari pemilu. Sosialisasi  politik  adalah “proses melalui mana seseorang  memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Jadi sosialisasi menurutnya adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik seseorang.[9]
Proses sosialisasi politik ini berlangsung secara terus menerus seumur hidup yang bisa diperoleh secara sengaja, seperti melalui pendidikan formal, nonformal dan informal, atau juga secara tidak sengaja seperti pengalaman hidup sehari-hari.[10]
Sosialisasi politik dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya:
1.      Dalam lingkungan keluarga, orang tua bisa mengajarkan kepada anak- anak  beberapa  cara  tingkah  laku  politik  tertentu. Melalui  obrolan politik ringan sehingga tak disadari telah menanamkan nilai-nilai politik kepada anak-anaknya.
2.      Dilingkungan sekolah,dengan memasukkan pendidikan kewarganegaraan.  Siswa dan guru bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik tentang politik.
3.      Dilingkungan negara, secara hati-hati bisa menyebarkan dan menanamkan ideologi-ideologi resminya.
4.      Di lingkungan partai politik, salah satu fungsi partai politik adalah dapat  memainkan  perannysebagai  sosioalisasi  politik. Artinya parpol itu telah merekrut anggota atau kader dan partisipannya secara periodik.  Partai politik harus mampu menciptakan kesan atau image memperjuangkan kepentingan umum.

Menurut Ramlan Subakti (1992: 117) ada dua macam sosialisasi politik  dilihat dari metode penyampaian pesan :
a)      Pendidika politik   yaitu   prose dialogis   diantara   pember dan penerima pesan.  Dari sini anggota masyarakat mempelajari simbol politik negaranya, norma maupun nilai politik.
b)      Indoktrinasi politik, yaitu proses  sepihak  ketika  penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal dan baik.
Dalam upaya pengembangan budaya politik, sosialisasi politik sangat penting karena dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa, serta dapat memelihara kebudayaan politik suatu bangsa, penyampaian  dari generasi tua ke generasi muda, dapat pula sosialisasi politik dapat mengubah kebudayaan politik.[11]
Menurut Gabriel A. Almond (2000: 56) sosialisasi politik dapat membentuk  dan  mentransmisikan  kebudayaan  politik  suatu bangsa dan memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dengan bentuk penyampaian dari generasi tua kepada generasi muda.[12]
Terdapat 6 sarana atau agen sosialisasis politik menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, diantaranya :
·         Keluarga  yaitu lembaga pertama yang dijumpai sesorang individu saat lahir.  Dalam keluarga anak ditanamkan sikap patuh dan hormat yang mungkin dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam sistem politik setelah dewasa.
·         Sekola yaitu  sekolah  sebagai  agen  sosialisasi  politik  memberi pengetahuan  bagi  kaum  muda  tentang  dunia  politik  dan  peranan mereka  di  dalamnya Di  sekolah  diberikan  kesadaran  pada  anak tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara, cinta tanah air.
·         Kelompok  bermain  yaitu  kelompok  bermain  masa  anak-anak  yang dapat membentuk sikap politik seseorang, kelompok bermain saling memiliki ikatan erat antar anggota bermain. Seseorang dapat melakukan tindakan tertentu karena temannya melakukan hal itu.
·         Tempa kerja   yaitu   organisasi   forma maupu nonforma yang dibentuk atas dasar pekerjaan seperti serikat kerja, serikat buruh. Organisasi seperti ini dapat berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik.
·         Media massa yaitu informasi tentang peristiwa yang terjadi dimana saja dengan cepat diketahui masyarakat sehingga dapat memberi pengetahuan dan informasi tentang politik.
·         Kontak-kontak   politik   langsun yaitu   pengalaman   nyata   yang dirasakan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap sikap dan keputusan politik seseorang.  Seperti diabaikan partainya, ditipu, dan rasa tidak aman.
Sosialisasi politik sangat dibutuhkan oleh pemilih pemula hal ini dikarenakan pemilih pemula merupakan pemilih yang membutuhkan informasi sehingga pemilih pemula menggunakan haknya yang diberikan oleh negara.
2.3.3   Pendidikan Politik Terhadap Pemilih Pemula
Istilah pendidikan politik adalah gabungan dari dua kata, yakni pendidikan  politik. Menurut Astrid S. Susanto (1982: 19) bahwa:  inti kegiatan  pendidikan  sebenarnya, selain menyangkut proses belajar, juga menyangkut pengaruh keadaan (conditioning) dan penguatan (reinforcement) terhadap masyarakat.    Sehingga dengan demikian pendidikan ialah merupakan  proses  belajar  seorang  tentang sesuatu serta mempersiapkan kondisi dan situasi lingkungan yang dapat menghasilkan ransangan yang akan menghasilkan reaksi atau respon tertentu. Apabila dihadapkan pada konsep pendidikan  politik,  maka  belajar  tentang  sesuatu  diatas  diartikan  belajar tentang politik.
Pendidikan politik yang memadai akan mengubah pandangan masyarakat  dari  yang  berpendapat  bahwa  memilih  pemimpin  itu  tidak penting maka   mereka akan ikut  berpartisipasi   karena   mereka   telah mengetahui   pentingny memilih pemimpin.
Menurut   Ramlan   Surbakti (1992: 117), Pengertian tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik berpendapat bahwa : Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi  politik.  Pendidikan  politik  merupakan  suatu  proses  dialogik antara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma dan simbol- simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah dan partai politik. Sedangkan indoktrinasi politik merupakan proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan psikologis dan latihan yang penuh disiplin.[13]
Rusadi Kartaprawira (2004: 54) mengartikan  pendidikan  politik sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya”.[14]
Pendidikan  politik menurut  Alfian (1986:  235) merupakan usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka memahami dan benar-benar mengahayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal   yang hendak dibangun. Pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi  politik  pada individu, meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, loyalitas dan perasaan politik serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktivitas yang terus berlangsung sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang demokratis.
Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha yang nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan politik akan erat kaitannya dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di masyarakat nantinya.[15]
 Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik ini.
Bentuk pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (2004: 56) dapat diselenggarakan antara lain melalui:
1.      Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
2.      Siaran radio dan televisi serta film.
3.      Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat .seperti masjid tempat menyampaikan khotbah dan juga lembaga pendidikan formal maupun informal.
Apapun bentuk pendidikan politik yang akan digunakan dan semua bentuk  yang  disuguhkan  diatas  sesungguhnya  tidak  menjadi  persoalan. Aspek yang terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut mampu untuk memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga politik mampu menuju pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya pikir dan daya tanggap rakyat terhadap masalah politik. Selain itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap tanah air, bangsa dan negara.[16]
Kesimpulan dari berbagai definisi tentang pendidikan politik yang dikemukakan oleh para ilmuan politik pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Pendidikan politik merupakan sebuah proses seseorang mempelajari dan memberikan pandangan tentang politik. Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujuan, yaitu membentuk kepribadian politik, kesadaran politik serta bertujuan untuk membentuk kemampuan  dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu menjadi partisipan politik dalam bentuk yang positif.
Pembentukan  kepribadian  politik  dapat  dilakukan  melalui  metode secara tidak  langsung,  yaitu  sosialisasi  dan  pelatihan  serta metode  yang bersifat  langsung,  yaitu  pengajaran  politik  melalui  institusi  pendidikan. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dengan dialog dan pengajaran  instruktif.  Adapun  partisipasi  politik  terwujud  dalam keikutsertaan individu secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya.  Jika  hal-hal  tersebut  dapat  terbentuk  dalam  jiwa  setiap warga Negara yang ditegakkan dengan pilar-pilar ideologi, spiritual, moral dan  intelektual.  Maka diharapkan  bangsa ini  akan menjadi bangsa yang berkarakter dan dapat mengantarkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang maju dan besar.
Pendidikan politik sangat dibutuhkan oleh pemilih pemula hal ini dikarenakan jika pemilih pemula tidak mendapatkan pendidikan politik akan keliru dalam menetukan pilihannya.
2.4    Teori Marketing Politik
Dalam iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka dan transparan, kontestan membutuhkan suatu metode yang dapat menfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin partai, dan program kerja partai pada masyarakat. Perlu suatu strategi untujk dapat memenangkan persaingan politik. Agar suatu konsestan dapat memenangkan pemilihan umum, ia harus dapat membuat pemilih berpihak dan memberikan suaranya. Hal ini hanya akan dapat di capai apabila kontestan memperoleh dukungan yang  luas dari pemilih.[17]
Firmansyah dalam bukunya juga menyebutkan bahwa marketing politik sebagai suatu aktifitas formal yang di akui memang secara konsep masih tergolong baru di Indonesia. Namun pada kenyataan nya, sudah sejak lama rakyat indonesia melakukan prinsip-prinsip marketing politik. Sementara Firmansyah (2005) mengupas tentang karakteristik pemilih. Terdapat beberapa jenis dan karakteristikpemilih, dimana msing- masing jenis membutuhkan pendekatan yang berbeda beda.
2.4.1 Persaingan Politik
Konsekuensi logis dari gelombang demokratis adalah semakin berkurang nya praktik kekuasaan totaliter dan sistem politik tertutup. Keadaan ini membuat masing- masing partai politik dan kontestan individu memiliki peluang yang sama untuk mememangkan persaingan dalam merebutkan suara masyarakat melalui pemilu. Persaingan yang terdapat diantara partai- partai politik dan kontestan – kontestan individu menjadi ciri khas yang meronai poliik sekarang ini. masing- masing pihak memiliki peluang dan kesmpatan yang sama untk  berkurang memenangkan pilihan umum. Semakin berkurang nya praktik –praktik kolusif dan rakayasa yang dilakukan oleh penguasa terhadap partai atau calon individu tertentu membuat para kontestan berhadapan langsung dengan masyarakat sebagai pemilih. Situasi seperti ini telah membuat masyarakat menjadi satu satu nya acuan bagi para kontestan dalam menyusun program kerja mereka.[18]
2.4.2 Tipologi Pemilih
            Analisis mendalam dan lebih konprehensif sangat dibutuhkan untuk memahami perilaku pemilih. Dalam buku marketing politik mencoba membangun tipologi pemilih berdasarkan pertimbangan bahwa pemilih mengangkut pandangan yang objektif ketika memilih sebuah partai atau seorang kontestan. Bahwa dalam diri masing- masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu: (1) orientasi ” policy-problem-solving”,(2) orientasi “ideologi”. Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kata kacamata ” policy-problem-solving”, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dna kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan  yang arah kebijakan tidak jelas akan cenderung tidak di pilih. Semanatara pemilih yang lebih memetingkan ikatan ideologi suatu partai atau seorang kontestan, akan lebih menekan kan aspek –aspek subjektivitas seperti kedetakan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesaamaan partai politik atau calon kentastan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya kepartai dan kontestan tersebut.
2.4.3   Strategi Politik
Pendekatan dan komunikasi politik perlu dilakukan oleh para kontestan untuk dapat memenangkan pemilu. Para kontestan perlu melakukan kajian untuk mengidentifikasi besaran (size) pendukungnya, masa mengambang dan pendukung kontestan lainnya. Identifikasi ini perlu dilakukan untuk menganalisis kekuatan dan potensi suara yang akan diperoleh pada saat pencoblosan, juga untuk mengidentifikasi strategi pendekatan yang yang diperlukan terhadap masing-masing kelompok pemilih. Strategi ini perlu dipikirkan oleh setiap kontestan karena pesaing juga secara intens melakukan upaya-upaya untuk memenangkan persaingan politik. Semntara itu, cara masyarakat menentukan pilihannya juga tergantung pada karakteristik masyarakat bersangkutan. Di satu sisi, terdapat kelompok masyarakat yang lebih menggunakan logika dan rasionalitas dalam menimbang kontestan. Kemampuan kontestan dalam memecahkan persoalan masyarakat menjadi titik perhatian kelompok masyarakat ini. Dipihak lain kedekatan ideologis juga menjadi kekuatan untuk menarik pemilih kedalam bilik suara dan mencoblos kontestan yang berideologi sama. Pemilih jenis ini tidak begitu memedulikan program kerja apa yang ditawarkan oleh partai yang bersangkutan. Asal ideologi partai tersebut sama dengan ideologi pemilih, sudah alasan baginya untuk memilih kontestan ini.[19]
2.4.4   Marketing dan Politik
Dalam konteks inilah marketing sebagai suatu disiplin yang berkembang dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik. Ilmu marketing biasanya dikenal sebagai sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen.
Penggunaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik  (political marketing). Dalam marketing politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini di artikan secra luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.
Marketing politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah biasa dalam konteks dunia usaha. Tentunya terdapat beberapa asumsi yang mesti dilihat untuk dapat memahami marketing politik, karena konteks dunia politik memang mengandung banyak perbedaan dengan dunia usaha.[20] Menurut O’shaughnessy (2001), politik berbeda dengan produk retail, sehingga akan berbeda pula muatan yang ada diantara keduanya. Politik terkait erat dengan pernyataan sebuah nilai (value). Jadi, isu politik bukan sekedar produk yang diperdagangkan melainkan menyangkut pula keterikatan simbol dan nilai yang menghubungkan individu-individu. Dalam hal ini politik lebih dilihat sebagai aktifitas sosial untuk menegaskan identitas masyarakat.
2.4.5   Konsep Marketing Dalam Domain Politik
Tujuan marketing dalam politik adalah membantu partai politik untuk menjadi lebih baik dalam mengenai masyarakat yang diwakili atau menjadi target, kemudian mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka, dan mampu berkomunikasi secara evekif dengan masyarakat.
Marketing tidak bertujuan untuk masuk kewilayah politik, dalam arti menjadi cara pendistribusian kekuasaan atau untuk menentukan keputusan politik. Bagi marketing, semua hal tersebut sudah di putuskan ( given). Dan yang menjadi masalah bagi marketing dalam politik adalah mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Diluar masalah itu, marketing niscaya dapat berkontribusi dalam politik, terutama teknik marketing untuk pengumpalan informasi tentang semua yang terkait dengan isu dan masalah politik.[21]
Melalui konsep dan metode riset pasar, misal nya, dunia politik dapat melakukan proses pencarian, pengumpulan, analisis data, dan informasi yang didapat dari masyarakat luas.
2.5    Undang-Undang Pemilu Legeslatif
Pemilihan umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila penyelenggaraan pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga Negara.
Penyelenggaraan pemilu yang lemah akan berpotensi menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas. Penyelenggaraan pemilu memiliki tugas menyelenggarakan pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Salah satu factor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu sebagai satu kesatuan penyelenggaraan pemilu. Ketika institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas, dan kewenangannya masing-masing. Sehubungan dengan penyelenggaraan pemilu 2009 yang belum berjalan secara optimal, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan menuju peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu.
Terus Indonesia merupakan sebuah Republik Perwakilan dimana Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Konstitusi Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), merupakan landasan untuk sistem pemerintahan negara dan yang memisahkan secara terbatas kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 dan permulaan gerakan Reformasi menghasilkan amandemen yang signifikan terhadap Konstitusi tersebut, yang mempengaruhi ketiga kekuasaan pemerintah, menambahkan klausa hak-hak asasi manusia yang penting, dan memperkenalkan pertama kali konsep “pemilu” ke dalam konstitusi.
Kerangka hukum legislatif yang mengatur perwakilan demokratis merupakan hal yang rumit dan menyangkut beberapa undang-undang:
·         Undang-Undang 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
·         Undang-Undang 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
·         Undang-Undang 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
·         Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (mencakup pemilu kepala daerah)
·         Undang-Undang 2/2011 tentang Partai Politik
·         Undang-Undang 27/2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa sekolah di kabupaten Pidie, Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi politik dalam memberikan hak suaranya, untuk mengetahui lebih lanjut dan lebih jelas lagi digambarkan d bawah ini:
TK/RA 70 unit                        SD 277 unit 
SMP 54 unit                            SMU 26 unit 
SMK 8 unit                             MIN 53 unit 
MIS 8 unit                               MTsN 13 unit
MTsS 13 unit                          MAN 8 unit
MAS 5 unit                             Universitas/PT 2 unit 
Akademi 7 unit
            Rincian Tingkat Pendidikan yang ada di Pidie ialah:
Strata 3 = 16 Jiwa                               Strata 2 = 462 Jiwa
Srata 1 = 12.137 Jiwa                         D-III = 7.107  Jiwa
D-II = 6.506 Jiwa                               SMA = 94.284 Jiwa
SLTP = 79.226 Jiwa                           SD = 90.451 Jiwa
Tidak Tamat SD = 64.650 Jiwa          Belum Sekolah = 88.135 Jiwa
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat perpolitikan seseorang. Dari data di atas dapat kita simpulkan bahwa sarana pendidikan yang ada khususnya di tingkat SMA cukup memadai. Jumlah sarana pendidikan yang ada sebanyak sangat memadai dan mencukupi untuk menampung jumlah penduduk Kabupaten Pidie yang mencapai 422.557 Jiwa .
Hal ini membuat calon legeslatif harus lebih cerdas dalam merebut suara di Kabupaten Pidie, dikeranakan penduduk yang berpendidikan tinggi lebih cenderung menjadi tipe Pemilih Rasional. Untuk itu dalam meraih suara di Kabupaten Pidie ini, para calon tidak cukup hanya melakukan pendekatan sosiologi tetapi juga harus mengunakan pendekatan rasional dan psikologis.
3.2 Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori  dimanfaatkan  sebagai  pemandu  agafokus  penelitian  sesuai  dengan fakta di lapangan.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dari pada merincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Pendekatan dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah kerja penelitian kualitatif. Dalam hal ini disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan adalah data kualitatif, yakni tidak menggunakan alat-alat pengukur. Metode kualitatif menghasilkan data deskriptif, baik berupa kata- kata ungkapan tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini bermaksud untuk memahami sebuah fenomena tentang apa  yang  dialami  oleh  subjek  penelitian  misalnya  perilaku, persepsi, motivasi, tidakan dan lain lain (Moleong, 2002: 3).[22]
Penelitian kuantitatif mempunyai kelebihan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat hasil dari proses yang tidak dihentikan, namun tidak efektif digunakan dalam penelitian yang mempersoalkan tentang proses yang berjalan, dinamika dan interaksi.
Penelitian kuantitatif mempunyai keunggulan dalam menegakkan objektivitas. Kebenaran diterima secara sepakat oleh para pengamat, sehingga kesimpulan yang dicapainya kuat. Objektivitas itu pula yang menyebabkan kebenaran yang dihasilkan terbuka untuk diuji kembali oleh dunia. Dengan begitu terdapat mekanisme saling menguji kebenaran untuk menemukan kebenaran yang mempunyai kekuatan tertinggi.
3.3 Informan Penelitian
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong,1997:157).[23] Pemiliha informan melalui purporsive sampling yaitu informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki wawasan dan pengetahuan mengenai topik penelitian sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya, disamping informasi yang dijadikan subjek penelitian dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun yang menjadi dalam penelitian ini adalah pelajar SMA N Sakti 10 orang, Pelajar MAN 1 Tijue 10 orang, pelajar SMA Beurenuen 10 0rang, pelajar SMA Keumala 10 orang, pelajar MAN Sakti 10 orang, pelajar SMA caleu 10 orang, pelajar MAN Beurenuen 10 orang, pelajar SMA lampoh saka 10 orang, pelajar SMA 1 tijue 10 orang, pelajar SMK negeri 1 sigli, dan pelajar SMK terbue, dan Ketua KIP Pidie, Partai Nasional 3 orang, Partai Lokal 3 orang, Ketua Panwaslu, Kepala sekolah, Guru 4 0rang, Orang tua 4 orang.
3.4 Sumber Data

Data  dalam  penelitian  ini  diperoleh  dengan  melakukan  penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

 a. Data  primer  dengan  mewawancarai  para  pihak  yang  terlibat  dalam pelaksanaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengamatan berperan serta wawancara dengan responden dan informan.
 b. Data sekunder yang dilakukan untuk mempelajari buku-buku teks, teori- teori,       peraturan perundang-undangan, artikel-artikel, tulisan-tulisan ilmiah yang ada  hubungannya dengan masalah yang diteliti.
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk  memperoleh  data  atau  informasi,  keterangan-keterangan  data yang diperlukan, peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1.      Wawancara.
Wawancara merupakan kegiatan pengumpulan data dengan teknik tanya  jawab antara dua orang yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan tujuan penelitian. Teknik tanya jawab berlangsung melalui kontak secara langsung, baik secara lisan maupun tatap  muka  dengan  informan.  Dalam  penelitian  kualitatif  digunakan pedoman wawancara mendalam yang berarti pertanyaan telah disiapkan sebelumnya, tetapi daftar pertanyaannya tidak mengikuti jalannya wawancara.
Daftar wawancara digunakan agar arah wawancara tetap terkendali dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi menyangkut   masala yang   diajuka dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada informan yang dianggap menguasai masalah penelitian.
Pedoman wawancara (interview guide), yaitu serangkaian pedoman wawancara yang digunakan sebagai alat untuk mengajukan pertanyaan kepada informan.  Dalam  penelitian  ini  digunakan  pedoman  wawancara dengan pertanyaan terbuka yang memungkinkan setiap pertanyaan berkembang ke arah yang lebih spesifik.
2.      Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Hadari Nawawi, 1993: 100)[24]. Dalam metode observasi penulis melakukan pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga  diperoleh  pemahaman  atau  sebagai  alat  pembuktian  terhadap informasi yang diperoleh sebelumnya sambil mencari informasi mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
3.      Dokumentasi dan Keperpustakaan
Suharsimi  Arikunto  (2002:  206)   metode  dokumentasi  adalah mencari data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.[25] Hadari Nawawi (2005: 133) menyatakan    bahwa studi dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku  mengenai  pendapat,  dalil  yang  berhubungan dengan masalah penyelidikan.[26]
3.6 Teknik Analisis Data

Tahap  analisis  data  adalah  melakukan  analisis  teks  yanmeliputi stuktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi. Tahap analisis ini bertujuan   untuk   melakukan   penulisan   laporan   pada  taha selanjutnya. Analisis yang dilakukan ini tidak terlepas dari rujukan dan penggunaan teori- teoryang relevan serta penelitian sebelumnya  yang mempunyai pertalian dengan penelitian ini.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan dipadukan untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menghasilkan data deskiptif analitis dari yang dinyatakan oleh responden dan informan secara tertulis atau yang  dipelajari dan diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.


















[1] Hafied Cangara, Komunikasi politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Cet.ke-3; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 165.
[2] Asfar, M. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya: Pustaka Utama. 2004.
[3] Hafied cangara, komunikasi politik: konsep, teori, dan strategi (cet ke 3; Jakarta:PT raja grafindo persada, 2011)
[4] Miriam Budiarjo,1998. DasarDasarIlmuPolitik. Jakarta:,Gramedia Pustaka Utama
[5]Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
[6]Miriam Budiarjo,1998. DasarDasarIlmuPolitik. Jakarta:,Gramedia Pustaka Utama
[7]Macridis,  Roy  C.  dan  Bernard  E.  Brown.  1996.  Perbandingan  Politik.  Jakarta: Erlangga
[8] Dan Nimmo,2006.Komunikasi Politik: dan efek.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya
[9]Miriam Budiarjo,1998. DasarDasarIlmuPolitik. Jakarta:,Gramedia Pustaka Utama
[10] Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
[11] Ibid. Hal 117
[12]Gabriel A. Almond, 2000. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Sidney :verba
[13]Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
[14] Rusadi Kantaprawira.2004. Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar: Bandung: Sinar Baru Algensindo
[15] Alfian.1986.Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Bandung : Liberty
[16] Rusadi Kantaprawira.2004. Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar: Bandung: Sinar Baru Algensindo
[17] Firmanzah ph.D. 2008.marketing politik. Jakarta: yayasan obor Indonesia
[18] Ibid halaman 41
[19] Ibid halaman 109
[20] Ibid halaman 127
[21] Firmanzah ph.D. 2008.marketing politik. Jakarta: yayasan obor Indonesia
[22] Moleong.2002. Metedologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya
[23] Ibid...
[24]Nawawi,  Hadari.  1987.  Metodologi  Bidang  Sosial.  Yogyakarta:  Gajah  Mada University
[25]Suharismi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta, Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan
[26] Nawawi,  Hadari.  1987.  Metodologi  Bidang  Sosial.  Yogyakarta:  Gajah  Mada University