BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan
Pemilih
pemula mayoritas memiliki rentang usia 17-21 tahun. mayoritas
mereka adalah pelajar
(SMA), mahasiswa dan perkerja muda. Mereka
merupakan yang sangat potensial dalam perolehan suara pada Pemilu. Perilaku pemilih pemula memiliki
karakteristik yang
biasanya masih labil dan apatis, pengetahuan
politiknya kurang,
cenderung mengikuti kelompok
sepermainan dan mereka baru belajar politik
khususnya dalam pemilihan umum (pemilu).
Selain itu, pemilih pemula juga pemilih yang
ikut andil menentukan
pemimpin negeri
ini tidak hanya pada pemilu pada tahun 2014 namun
juga pemilu-pemilu selanjutnya.
Perilaku
mereka menjadi
indikator kualitas
demokrasi secara substansial pada saat ini dan masa
akan
datang. Kondisi mereka masih labil
dan
mudah
diberikan wawasan politik dan demokrasi secara benar
baik dari suprastruktur politik maupun infrastruktur politik.
Maka pemilih pemula masih terbuka
menjadi pemilih yang
cerdas dan
kritis
dalam
menentukan pemimpin
di Indonesia.
Perpolitikan
juga pada saat ini telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia yang semakin kian
terbuka dan transparan. Setelah orde baru tumbang, kini Indonesia secara
dramatis telah melangkah ke tahapan demokrasi, perubahan-perubahan penting
telah banyak terjadi seperti dari segi pranata, legal, dan institusional.
Kita telah melaksanakan
pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, Suatu ritual demokrasi dimana partisipasi rakyat
dibutuhkan dapat dilembagakan secara berkala dan regular.
Pemahaman yang baik itu diharapkan bisa menjadikan pemilih
pemula sehingga mempunyai motivasi untuk
terus menjadi pemilih
yang cerdas dan tercapai tujuan pendidikan politik itu sendiri dan hal tersebut, merupakan manfaat dari pemilu, yakni pencerdasan politik karena belum
punya
pengalaman memilih dalam pemilu, mereka perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang
terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh
ikut serta dalam pemilu,
bagaimana tata
cara
menggunakan hak
pilih
dalam pemilu dan
sebagainya. Pertanyaan
itu
penting
diajukan agar
pemilih pemula menjadi pemilih cerdas dalam menentukan pilihan politiknya di setiap pemilu.
Pengaruh
politik dan partisipasi politik pemilih merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Perilaku politik pemilih merupakan aspek penting dalam
menunjang keberhasilan pelaksanaan suatu pemilihan umum.
Di dalam penelitian ini yang ingin ditekankan ialah bagaimana perilaku politik
kaum muda (pemilih pemula) dalam pemilihan calon legeslatif.
Pemilihan
legeslatif 2014 telah berjalan di Kabupaten Pidie, diantaranya adalah pemilihan
calon DPR, DPD, DPRD yang di laksanakan pemilihan pada bulan april 2014,
pemilihan calon DPR, DPD, DPRD ini diharapkan dapat membawa masyarakat
Kabupaten Pidie kearah yang lebih demokratis. Pesta demokrasi ini sangat
dirasakan oleh seluruh masyarakat di Kabupaten Pidie, baik dari desa terpencil
maupun kota.
Komisi
Independen Pemilih (KIP) Pidie tetapkan 288.651 jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Pemilu Presiden 2014 di Kabupaten Pidie, dan KIP melakukan pemutakhiran data
Pemilih berpedoman pada Peraturan KPU nomor 9, prosesnya dimulai dari DPT
Pemilu Legislatif 289.553 pemilih, kemudian Pemerintah (Kementerian Dalam
Negeri) memberikan data pemilih pemula, yang tepat angka kelahiran 9 Juli
2014 genap beusia 17 tahun.
Dengan demikian pemilih pemula merupakan pemilih yang
sangat
potensial. Namun, dari hasil observasi awal
menujukkan bahwa pemilih pemula
kebanyakan tidak berpartisipasi, bahkan kebanyakan dari mereka
berpartisipasi dalam pemilu karena
dipaksa. Salah satunya
karena dipaksa
oleh orang tuanya, persepsi memilih pemimpin itu tidak penting, sehingga mereka memilih pemimpin
mengikuti apa yang
dipilih oleh orang tuanya. Selain
itu banyakdi
kalangan
pemilih pemula tidak mendapatkan sosialisasi politik
dan pendidikan politik
dari
pihak mana pun. (Rizqan kamil, Mahasiswa Universitas
Syiah Kuala jurusan Ilmu Politik, wawancara tanggal 28 April 2015)
Dari data observasi awal tersebut menunjukkan bahwa pemilih pemula cenderung memilih karena adanya kekuatan emosional dari pihak
tertentu contohnya orang
tua atau keluarga. Mereka memilih karena mengikuti atau dipaksa. Mereka juga
tidak pernah mendapatkan sosialisasi
politik dan pendidikan politik dari pihak manapun baik dari keluarga, KIP,
partai politik dan pihak sekolah. Sehingga mereka
tidak mengerti apa itu politik. Hal ini dikarenakan tidak tertanamnya pendidikan politik di dalam
diri mereka.
Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pengaruh
pemilih pemula dalam pemilihan legeslatif
tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie. Selain itu, peneliti
juga menelusuri hal-hal yang mendasari dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan politik kaum pelajar tersebut. Kaum muda adalah sebagai warga negara
berhak untuk ikut dan berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum, khususnya
pemilihan calon legeslatif di Kabupaten Pidie.
Kaum
muda atau pelajar adalah salah satu generasi penerus masa depan. Tingkat
pemikiran dan ideologi mereka lebih kritis dibandingkan dengan kaum tua. Hal
ini sangat terlihat di setiap pemilihan umum, sasaran utama para kandidat
adalah kaum muda.
Pemilih
pemula merupakan sasaran yang potensial untuk
mendulang suara
bagi partai politik dan para
calon legislatif akan tetapi
apabila mereka tidak diimbangi pengetahuan tentang
politik oleh partai
politik dan KIP maka mereka akan salah dalam menentukan pilihannya. Hal tersebut bisa dimengerti karena generasi muda sekarang
kebanyakan tidak peduli tentang apa yang terjadi di dunia politik. Mereka belum
merasakan ada manfaat langsung
pentingnya kehidupan politik bagi mereka. Proses
pembelajaran
seharusnya tidak boleh
berhenti, karena
pengetahuan dan ilmu selalu berkembang dan memunculkan sesuatu yang baru.
Pendidikan politik bagi pemilih pemula sangat penting
diadakan
karena pemilih pemula yang baru memasuki usia hak pilih tentunya belum memiliki jangkauan politik
yang luas untuk
menentukan kemana suara mereka akan dijatuhkan. Keberadaan pemilih pemula sering kali menjadi
incaran bagi partai politik untuk mendulang suara. Para pemilih pemula ini umumnya
belum terinformasikan serta tidak memiliki pendidikan politik memadai.
Fenomena
dan keadaan politik jelang diadakannya pemilihan calon legeslatif ini, yang sangat nampak adalah adu strategi
yang di lakukan oleh masing-masing calon legeslatif ini. Setiap calon
legeslatif memiliki strategi khusus dan tersendiri untuk meraih simpati dan
dukungan dari para pemilih khususnya kaum-kaum muda.
Dalam
suatu kehidupan bernegara dan juga bermasyarakat, partisipasi kaum muda sangat
dibutuhkan sebagai wujud dari kebersamaan dan keikutsertaan dalam proses
politik tersebut. Partisipasi politik pada dasarnya adalah aspek penting dalam
negara demokrasi dan juga menjadi penanda adanya modernisasi politik.
Dari
uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dan hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Perilaku
pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di
Kabupaten Pidie.”
1.2 Fokus Penelitian
Untuk memperjelas permasalahan dalam penelitian ini, maka perlu adanya
fokus penelitian sehingga adanya keseimbangan antara teori dengan realitas yang
tejadi
dilapangan. Berdasarkan rumusan masalah
maka yang
menjadi
fokus dalam penelitian ini
adalah :
1.
Bentuk
pengaruh pemilih pemula.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
politik pemilih pemula.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian diatas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah
:
1.
Bagaimanakah bentuk pengaruh
pemilih pemula
pada
pemilu legislatif Tahun 2014 di kalangan pelajar di Kabupaten Pidie?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi politik
pemilih pemula pada
pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
bentuk pengaruh pemilih pemula
pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan pelajar di Kabupaten Pidie.
2.
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang
mempengaruhi
politik pemilih pemula pada pemilu legislatif Tahun 2014 dikalangan
pelajar di Kabupaten Pidie.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat penelitian sebagai berikut :
1.5.1 Manfaat Akademis
·
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pengembangan teori ilmu politik,
khususnya dalam hal pengaruh politik pemilih pemula ini.
·
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
pedoman untuk peneliti selanjutnya.
1.5.2 Manfaat Praktis
·
Penelitian ini diharapkan dapat
memperjelas tentang bentuk dan pengaruh politik dalam pembangunan perpolitikan
di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman para aktor
politik tentang pengaruh politik pemula yang terjadi di Indonesia khususnya di Kabupaten Pidie.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
Adapun kerangka teori yang menjadi landasan
berpikir penulis dalam penelitian
ini adalah:
2.1
Penelitian Terdahulu
Sebagai
bahan
pertimbangan dalam
penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah dilakukan diantaranya :
Penelitian dilakukan oleh Syafrika Henri (2009) yang
berjudul Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 (Studi Di Kelurahan Penyengat Kecamatan Tanjung Pinang
Kota). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui partisipasi politik pemilih pemula
di Kelurahan Penyengat
Kecamatan
Tanjung Pinang
Kota dalam pelaksanaan
Pemilu tahun 2009 Penelitian ini memaparkan pemilih pemula
merupakan subjek dan
objek dalam kegiatan politik,
termasuk didalamnya kegiatan
pemilihan umum.
Hasil menunjukkan pemilih pemula masih
kurang aktif berpartisipasi
pada pemilu Tahun 2009 hal ini dikarenakan para pemilih pemula
tidak aktif dalam mencermati situasi yang dapat menambah pengetahuan mereka
sendiri terhadap pemilusehingga mereka
tidak kecewa. Belum
antusiasnya
pemilih pemula dalam menyambut
pemilu
tahun 2009,
masih kurangnya
kepercayaan
terhadap pemerintah dan bakal
calon legislatif
sehingga mengakibatkan kurangnya
keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam
pemilu
pada tahun 2009.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti bahwa keikutsertaan pemilih pemula dalam pemilu
legislatif sangat minim.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jeli Indra
(2013) yang
berjudul Partisipasi Pemilih Perempuan
pada Pemilu Legislatif
Tahun
2009 di Kabupaten Aceh Barat Daya
tujuan penelitian tersebuat adalah untuk mengetahui dan menganalisis partisipasi pemilih pemula
pada pemilu legislatif
tahun 2009 di Aceh Barat Daya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
partisipasi pemilih perempuan pada pemilu legislatif
tahun 2009 di
kabupaten Aceh Barat
Daya masih rendah. Berdasarkan
penelitian
ditemukan bahwa pemilih perempuan sebanyak
50% lebih banyak dibandingkan pemilih lelaki, besarnya jumlah perempuan Aceh Barat Daya yang terdaftar
dalam pemilih tetap pada
pemilu tersebut ternyata tidak mencerminkan
tingkat partisipasi yang besar dalam proses politik tersebut. Pemilih
perempuan pada
pemilu legislatif
2009 tersebut lebih banyak tidak menggunakan
hak pilihnya.
Rendahnya partisipasi pemilih perempuan pada pemilu legislatif
2009 di kabupaten Aceh Barat Daya dikarenakan beberapa faktor, yaitu kurangnya
pengetahuan dan pemahaman politik
pemilih perempuan dalam proses politik, pendidikan politik yang
masih rendah, melekatnya sistem patriarki
dan kebiasaan adat-istiadat setempat.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti bahwa pemilih pemula
kurang mendapatkan pendidikan politik sehingga mengaggap tidak memilih ataupun
memilih tidak ada pengaruhnya bagi mereka.
Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Sari Narisyah Ayu (2012) dengan judul “Partisipasi Politik etnis Tionghoa
dalam Pemilihan Kepala Daerah 2006 (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh). Tujuan penelitiannya adalah
untuk mengetahui dan menjelaskan partisipasi
etnis Tionghoa dalam
pemilihan Kepala
Daerah 2006 dan menjelaskan hambatan internal yang
dihadapi etnis Tionghoa dalam
memberikan partisipasinya.
Penelitian tersebut
menggambarkan partisipasi etnis
Tionghoa yang
aktif dalam pemilihan kepala daerah 11 Desember 2006 setelah dipresentasekan adalah sebanyak 58%. Sedangkan yang tidak ikut
berpartisipasi sebanyak 42% etnis Tionghoa tidak mengikuti pemilihan kepala daerah dengan berbagai alasan dimulai dari tidak terdaftar dan tidak
ada
di tempat, alasan tersebut bisa diakibatkan
karena pada tahun 2004
dimana Aceh pada masa itu masih membenahi diri. Hambatan-hambatan etnis Tionghoa
dalam memberikan partisipasi politiknya didapat dua
hasil
yang tidak jauh beda yaitu hambatan pertama kesadaran politik
yang menyangkut minat dan perhatian terhadap politik
42% dan kurang percaya terhadap
pemerintah
28%.
Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang diangkat oleh
peneliti
bahwa banyaknya masyarakat
termasuk pemilih
pemula yang memilih untuk golput karena kurangnya kepercayaan terhadap para calon legislatif.
2.2
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka
disebagian
literatur penulisan karya ilmiah
disebut juga landasan teoritis, kerangka pemikiran atau kerangka
konseptual. Dengan berdasarkan teori yang penulis gunakan maka akan
menciptakan atau memecahkan masalah yang
penulis kaji dan akan terlihat kerangka pemikiran atau alur pikir. Untuk mendukung penulis dalam
menyelesaikan
penelitian ini, penulis
menggunakan teori pemilih
pemula dan teori marketing politik dan undang- undang pemilu
legeslatif.
2.3
Teori
Pemilih Pemula
Pengertian Pemilih
pemula menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun
2008
dalam
Bab IV pasal
19
ayat 1 dan
2
serta pasal
20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga
Indonesia yang
pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah warga negara Indonesia yang
sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang
mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum
termasuk pemilih karena ketentuan
Undang-Undang Pemilu.
Pemilih pemula
sebagai
bagian
dari komponen
bangsa, pemuda tidak dapat melepaskan diri dan menghindar dari politik.
Oleh karena hakekat manusia termasuk pemuda
adalah zoon
politicon atau mahluk politik. Keberadaan dan kiprah manusia termasuk pemilih pemula
merupakan bagian dari produk politik dan terlibat baik langsung
maupun tidak langsung,
nyata maupun
tidak nyata dalam
kehidupan politik.
Peran politik
pemilih pemula dapat dilihat dari berbagai bentuk, diantaranya:
1.
Partisipasi politik pemilih pemula sebagai bagian dari sistem politik
yakni dalam supra struktur politik dan Infra struktur
politik. Dalam
supra struktur politik, pemilih pemula merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam sistem pemerintahan. Sebagai warga negara setiap
pemilih pemula harus memahami tentang hak dan kewajibannya sebagai
warga negara, termasuk melakukan bela negara. Dalam infra
struktur politik, pemuda dapat berkiprah dalam kegiatan partai politik, pada kelompok kepentingan maupun kelompok
penekan. Inilah arena politik yang dapat digunakan
oleh pemilih pemula dalam berpartisipasi.
2. Menemukan kembali agenda perjuangan sebagai penjaga idealisme gerakan, sebagaimana
dulu
pernah dicetuskan dalam beberapa agenda
yang tercatat dalam sejarah
bangsa.
3.
Mengembalikan subtansi demokrasi sebagai
alat
untuk mencapai kesejahteraan sosial, sehingga pemilu bukan menjadi
tujuan, melainkan alat yang seharusnya memberikan kebermafaatan bagi masyarakat Indonesia dengan
efisien, dan efektif.
4. Sebagai
langkah
praktis,
maka perlu kiranya
pemilih pemula mengambil bagian terhadap terselenggaranya pemilu yang damai, arif dan
bermartabat.
Partsipasi politik pemilih pemula dalam pemilu langsung menjadi sangat penting dan strategis oleh karena pemilih pemula sebagai agen
perubahan harus
dapat mengawal proses
transisi demokrasi kearah yang
lebih substantif yakni terlaksananya pemilu secara
free dan fair. Untuk
mengawal proses tersebut, pemilih pemula
dapat berkiprah baik sebagai
penyelenggara, peserta
ataupun pengawas proses penyelenggaraan pilkada, pemilih pemula harus dapat tampil sebagai agen penjaga
moral dan etika
politik dalam proses demokrasi pemilih
pemula harus dapat tampil
sebagai penjaga demokrasi, menghormati
hak dan kewajiban orang lain,
menghargai perbedaan pilihan dan
tidak terjebak pada pragmatisme
politik.
Komitmen yang kuat Integritas Kompetensi Konstituensi Agar kiprah, peran dan partisipasi politik
pemuda dapat diperhitungkan, maka setiap pemilih
pemula hendaknya memiliki daya tarik
pemilih pemula bagi
partai politik. Lahirnya dukungan dari pemilih pemula yang secara tidak
langsung membawa dampak pencitraan berarti untuk pengamanan proses regenerasi kader politik itu sendiri kedepan.
Sebagai lumbung emas suara kepada partai politik. Secara tidak langsung pemilu dapat menumbuhkan
kesadaran berpolitik
sejak
dini.
Mengembangkan
pendidikan politik kepada para
remaja agar mampu menjadi aktor
politik dalam lingkup peran
dan status yang
disandang serta dapat menumbuhkan pengertian bagaimana menjalankan hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik.
2.3.1
Partisipasi
Politik Pemilih Pemula
Kata partisipasi merupakan hal tentang
turut berperan serta dalam
suatu kegiatan,keikutsertaan atau berperan serta. Partisipasi
politik adalah keikutsertaan
warga
negara biasa
dalam menentukan
segala
keputusan yang
menyangkut dan mempengaruhi kehidupannya, sejalan dengan itu
Hebert
menyatakan
bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan-kegiatan
suka rela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa dan secara langsung
atau tidak langsung dalam
proses pembentukan
kebijakan
umum.
Menurut Micheal Rush dan Philips Althoff dalam buku Political Expolrer (2012: 197) ,tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang
diukur melalui tingkatan
intensitas individu tersebut
dalam
kegiatan politik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau
sekelompok
orang
untuk ikut serta dalam kehidupan politik
yaitu dengan cara jalan memilih pimpinan negara secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah.
Partisipasi politik menjadi beberapa kategori
perilaku yakni
:
1.
Apatis
adalah orang-orang yang menarik
diri sari proses
politik.
2.
Spectator
adalah orang-orang yang
setidaknya
pernah
ikut
dalam
pemilu.
3.
Gladiator adalah orang-orang yang selalu aktif terlibat dalam proses politik.
4.
Pengkritik yaitu orang-orang yang
berpartisipasi
dalam
bentuk konvensional (Prihatmoko, 2008: 76).
Selain
itu ada juga bentuk-bentuk
partisipasi
politik yang berbeda.
Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi:
a)
Kegiatan pemilihan mencakup suara
juga
sumbangan-sumbangan
untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seseorang
calon, atau setiap tindakan yang bertujuan
mempengaruhi hasil proses
pemilihan.
b)
Lobbying mencakup
upaya perorangan
atau kelompok
untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka
mengenai
persoalan-persoalan yang
menyangkut sejumlah besar orang.
c)
Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi
sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah
mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah.
d)
Mencari koneksi merupakan tindakan perorangan yang
ditunjukkan terhadap pejabat-pejabat pemerintah
dan
biasanya dengan maksud
memperoleh manfaat bagi
segelintir
orang.
e)
Tindak
kekerasan merupakan
upaya untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan cara menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda (Samuel
hutington,1994: 16).
Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran
untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu
negara. Ada banyak bentuk partisipasi itu sendiri, diantaranya melalui pemberian
suara, diskusi politik, kegiatan
kampanye, ikut dalam partai politik dan lain sebagainya.
Perilaku politik
masyarakat
itu sendiri dapat
dilihat ketika masyarakat tersebut ikut partisipasi misalnya dalam pemilu. Rakyat membuat kontrak sosial dengan para pemimpin
melalui pemilu.
Pada saat pemilu rakyat dapat memilih figur yang dapat dipercaya untuk mengisi
jabatan legislatif dan eksekutif. Di dalam pemilu, rakyat yang
telah
memenuhi syarat untuk memilih, secara bebas dan rahasia menjatuhkan pilihannya
pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Oleh karena itu, kekuasaan
yang
dimiliki oleh para
pemimpin sekarang bukanlah muncul
karena dirinya
sendiri,
melainkan titipan
dari rakyat melalui
pemilu.
Partisipasi politik
mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh
semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk
mempengaruhi pemulihan
pejabat
pemerintahan
atau
tindakan yang
mereka ambil. Istilah itu menunjukkan bahwa pada dasarnya
kita berkepentingan dalam partisipasi
politik, yaitu dalam tindakan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusam pemerintah.
Orang
mengambil bagian dalam politik dengan berbagai cara.
Cara-cara itu berbeda dalam tiga
hal atau dimensi: gaya umum partisipasi,
motif yang mendasari
kegiatan mereka dan
konsekuensi berpastisipasi pada peran
seseorang dalam politik.
Partisipasi politik pemilih pemula
sebagai bagian dari
sistem politik yakni dalam supra
struktur politik dan Infra struktur
politik. Dalam supra struktur politik, pemilih pemula merupakan bagian yang
tak
terpisahkan dalam sistem
pemerintahan.
2.3.2
Sosialisasi Politik Terhadap Pemilih Pemula
Sosialisasi politik merupakan
konsep yang
diperkenalkan
oleh seorang
sarjana
Amerika Robert
Hyman
pada
tahun 1950-an.
Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu
proses penyerapan
nilai dari lingkungan
sistem politik
ataupun masyarakat terhadap individu atau terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan politik
menyadari bahwa
pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku politik selalu terjadi
dan merupakan satu
proses
yang penting
artinya dalam kehidupan politik.
Sosialisasi politik berperan pada
tingkat keaktifan
masyarakat
dalam
partisipasi
politik.
Sebagai
contoh sosialisi yang baik
mengenai pemilu akan menambah masyarakat yang ikut memilih pada hari pemilu.
Sosialisasi politik
adalah “proses melalui mana
seseorang memperoleh
sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam
masyarakat dimana ia berada”. Jadi sosialisasi
menurutnya adalah proses
pembentukan sikap dan orientasi politik seseorang.
Proses sosialisasi politik
ini berlangsung secara terus menerus seumur
hidup yang bisa diperoleh secara sengaja, seperti melalui pendidikan
formal, nonformal dan informal, atau juga secara
tidak sengaja seperti
pengalaman hidup sehari-hari.
Sosialisasi politik dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya:
1.
Dalam lingkungan keluarga, orang tua bisa mengajarkan kepada anak- anak beberapa
cara tingkah
laku politik tertentu. Melalui
obrolan
politik ringan sehingga tak disadari telah
menanamkan
nilai-nilai politik kepada anak-anaknya.
2.
Dilingkungan sekolah,dengan
memasukkan pendidikan kewarganegaraan. Siswa
dan
guru bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas
topik tentang politik.
3.
Dilingkungan negara, secara hati-hati bisa menyebarkan dan menanamkan ideologi-ideologi resminya.
4.
Di lingkungan partai politik, salah satu fungsi partai politik
adalah dapat
memainkan perannya sebagai sosioalisasi politik. Artinya parpol itu telah merekrut anggota atau kader dan partisipannya secara
periodik. Partai
politik harus mampu menciptakan kesan atau image
memperjuangkan kepentingan umum.
Menurut Ramlan Subakti (1992: 117) ada dua macam sosialisasi
politik dilihat dari metode penyampaian
pesan
:
a)
Pendidikan politik
yaitu
proses dialogis diantara
pemberi dan penerima pesan. Dari sini anggota masyarakat mempelajari simbol
politik negaranya, norma maupun nilai
politik.
b)
Indoktrinasi politik, yaitu proses
sepihak ketika
penguasa
memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol
yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal
dan baik.
Dalam
upaya pengembangan budaya politik, sosialisasi
politik sangat penting
karena dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa,
serta dapat memelihara
kebudayaan politik
suatu bangsa, penyampaian
dari generasi tua ke generasi muda, dapat pula
sosialisasi politik dapat mengubah kebudayaan
politik.
Menurut Gabriel A. Almond (2000: 56) sosialisasi politik dapat membentuk
dan mentransmisikan kebudayaan politik
suatu bangsa dan memelihara
kebudayaan politik
suatu bangsa dengan bentuk penyampaian dari
generasi tua
kepada generasi
muda.
Terdapat
6 sarana atau agen sosialisasis politik menurut Mochtar
Masoed dan Colin MacAndrews, diantaranya :
·
Keluarga yaitu lembaga pertama yang dijumpai sesorang individu saat lahir. Dalam keluarga anak ditanamkan sikap patuh dan hormat yang
mungkin dapat mempengaruhi sikap
seseorang
dalam
sistem politik setelah dewasa.
·
Sekolah yaitu sekolah sebagai agen
sosialisasi
politik
memberi
pengetahuan bagi kaum
muda
tentang
dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Di sekolah diberikan kesadaran
pada anak tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara, cinta tanah air.
·
Kelompok
bermain
yaitu kelompok
bermain
masa anak-anak
yang dapat membentuk sikap politik seseorang,
kelompok
bermain saling memiliki
ikatan erat antar
anggota bermain. Seseorang
dapat
melakukan tindakan tertentu
karena temannya melakukan hal
itu.
·
Tempat kerja
yaitu
organisasi
formal maupun nonformal yang
dibentuk atas dasar
pekerjaan
seperti serikat kerja, serikat buruh. Organisasi seperti
ini dapat berfungsi
sebagai penyuluh
di bidang politik.
·
Media massa yaitu informasi tentang peristiwa yang terjadi dimana
saja dengan cepat diketahui masyarakat sehingga dapat memberi pengetahuan dan informasi
tentang politik.
·
Kontak-kontak politik
langsung yaitu
pengalaman
nyata yang
dirasakan oleh seseorang
dapat berpengaruh terhadap sikap dan
keputusan politik seseorang.
Seperti
diabaikan partainya,
ditipu, dan rasa tidak aman.
Sosialisasi politik sangat dibutuhkan oleh pemilih pemula
hal
ini dikarenakan pemilih pemula merupakan pemilih yang
membutuhkan informasi sehingga pemilih pemula menggunakan haknya yang
diberikan oleh negara.
2.3.3 Pendidikan Politik Terhadap Pemilih Pemula
Istilah
pendidikan politik adalah
gabungan
dari
dua kata, yakni pendidikan politik. Menurut Astrid S.
Susanto
(1982: 19) bahwa: “inti kegiatan
pendidikan
sebenarnya,
selain menyangkut
proses belajar, juga menyangkut pengaruh
keadaan
(conditioning) dan penguatan (reinforcement) terhadap
masyarakat”. Sehingga dengan
demikian pendidikan ialah
merupakan proses
belajar seorang tentang sesuatu
serta mempersiapkan kondisi dan situasi lingkungan yang dapat menghasilkan ransangan yang akan menghasilkan reaksi atau respon tertentu. Apabila dihadapkan pada konsep
pendidikan politik, maka belajar
tentang sesuatu diatas diartikan belajar
tentang politik.
Pendidikan politik yang
memadai akan mengubah pandangan masyarakat
dari yang
berpendapat bahwa memilih pemimpin
itu
tidak
penting, maka mereka
akan
ikut berpartisipasi
karena mereka telah mengetahui pentingnya memilih pemimpin.
Menurut Ramlan
Surbakti (1992: 117), Pengertian tentang pendidikan politik
harus dijelaskan terlebih dahulu
mengenai sosialisasi politik
berpendapat bahwa :
Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik
dan indoktrinasi politik.
Pendidikan politik
merupakan
suatu proses
dialogik antara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para
anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma
dan
simbol- simbol politik negaranya
dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti
sekolah, pemerintah dan
partai politik. Sedangkan indoktrinasi politik
merupakan proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi
warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang
dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan psikologis dan latihan yang penuh disiplin.
Rusadi Kartaprawira (2004: 54) mengartikan pendidikan politik
sebagai “upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat
dan agar mereka dapat
berpartisipasi secara maksimal dalam sistem
politiknya”.
Pendidikan
politik menurut
Alfian (1986:
235) merupakan usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga
mereka memahami dan benar-benar mengahayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Pendidikan
politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan
orientasi
politik pada individu, meliputi
keyakinan konsep
yang memiliki
muatan politis, loyalitas dan
perasaan politik serta pengetahuan dan
wawasan
politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan
politik dan sikap politik. Disamping
itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktivitas yang terus berlangsung
sepanjang
hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud
secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang
demokratis.
Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha yang
nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan
politik akan erat
kaitannya dengan bentuk pendidikan
politik yang akan
diterapkan di masyarakat nantinya.
Oleh karena
itu,
bentuk pendidikan politik yang
dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan
pendidikan politik ini.
Bentuk pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (2004: 56) dapat
diselenggarakan antara lain
melalui:
1.
Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lain-lain bentuk publikasi
massa yang biasa membentuk
pendapat umum.
2.
Siaran radio
dan televisi serta film.
3.
Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat .seperti masjid tempat menyampaikan khotbah dan
juga lembaga pendidikan
formal maupun
informal.
Apapun bentuk
pendidikan politik yang
akan
digunakan dan semua bentuk
yang
disuguhkan diatas sesungguhnya
tidak menjadi persoalan. Aspek yang
terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut
mampu untuk memobilisasi simbol-simbol nasional
sehingga politik
mampu menuju pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya pikir dan daya tanggap
rakyat
terhadap
masalah politik. Selain
itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap
tanah air, bangsa dan negara.
Kesimpulan dari berbagai definisi
tentang pendidikan politik yang dikemukakan
oleh para ilmuan politik pada hakikatnya tidak jauh berbeda.
Pendidikan politik
merupakan sebuah proses seseorang mempelajari dan
memberikan pandangan tentang
politik. Dengan demikian pendidikan politik
memiliki tiga tujuan, yaitu membentuk kepribadian politik, kesadaran politik serta bertujuan untuk
membentuk kemampuan dalam berpartisipasi politik
pada individu, agar individu menjadi partisipan politik
dalam bentuk yang
positif.
Pembentukan kepribadian politik
dapat dilakukan
melalui metode secara tidak
langsung, yaitu
sosialisasi
dan pelatihan
serta metode yang bersifat
langsung,
yaitu
pengajaran
politik melalui institusi
pendidikan. Untuk menumbuhkan kesadaran
politik ditempuh dengan
dialog dan pengajaran
instruktif.
Adapun partisipasi
politik terwujud dalam keikutsertaan individu
secara sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya. Jika
hal-hal tersebut dapat terbentuk
dalam
jiwa setiap
warga Negara yang ditegakkan dengan pilar-pilar ideologi, spiritual, moral
dan
intelektual. Maka diharapkan bangsa ini akan menjadi bangsa
yang berkarakter
dan
dapat mengantarkan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang maju
dan besar.
Pendidikan politik
sangat dibutuhkan oleh pemilih pemula hal ini
dikarenakan jika pemilih
pemula tidak mendapatkan pendidikan politik akan
keliru dalam menetukan pilihannya.
2.4 Teori Marketing Politik
Dalam
iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka dan transparan, kontestan
membutuhkan suatu metode yang dapat menfasilitasi mereka dalam memasarkan
inisiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik
pemimpin partai, dan program kerja partai pada masyarakat. Perlu suatu strategi
untujk dapat memenangkan persaingan politik. Agar suatu konsestan dapat
memenangkan pemilihan umum, ia harus dapat membuat pemilih berpihak dan
memberikan suaranya. Hal ini hanya akan dapat di capai apabila kontestan
memperoleh dukungan yang luas dari
pemilih.
Firmansyah dalam bukunya juga menyebutkan bahwa
marketing politik sebagai suatu aktifitas formal yang di akui memang secara
konsep masih tergolong baru di Indonesia. Namun pada kenyataan nya, sudah sejak
lama rakyat indonesia melakukan prinsip-prinsip marketing politik. Sementara
Firmansyah (2005) mengupas tentang karakteristik pemilih. Terdapat beberapa
jenis dan karakteristikpemilih, dimana msing- masing jenis membutuhkan
pendekatan yang berbeda beda.
2.4.1 Persaingan Politik
Konsekuensi logis dari gelombang demokratis adalah
semakin berkurang nya praktik kekuasaan totaliter dan sistem politik tertutup.
Keadaan ini membuat masing- masing partai politik dan kontestan individu
memiliki peluang yang sama untuk mememangkan persaingan dalam merebutkan suara
masyarakat melalui pemilu. Persaingan yang terdapat diantara partai- partai
politik dan kontestan – kontestan individu menjadi ciri khas yang meronai
poliik sekarang ini. masing- masing pihak memiliki peluang dan kesmpatan yang
sama untk berkurang memenangkan pilihan
umum. Semakin berkurang nya praktik –praktik kolusif dan rakayasa yang
dilakukan oleh penguasa terhadap partai atau calon individu tertentu membuat
para kontestan berhadapan langsung dengan masyarakat sebagai pemilih. Situasi
seperti ini telah membuat masyarakat menjadi satu satu nya acuan bagi para
kontestan dalam menyusun program kerja mereka.
2.4.2
Tipologi Pemilih
Analisis mendalam dan lebih
konprehensif sangat dibutuhkan untuk memahami perilaku pemilih. Dalam buku
marketing politik mencoba membangun tipologi pemilih berdasarkan pertimbangan
bahwa pemilih mengangkut pandangan yang objektif ketika memilih sebuah partai
atau seorang kontestan. Bahwa dalam diri masing- masing pemilih terdapat dua
orientasi sekaligus yaitu: (1) orientasi
” policy-problem-solving”,(2) orientasi
“ideologi”. Ketika pemilih menilai
partai politik atau seorang kontestan dari kata kacamata ” policy-problem-solving”, yang terpenting bagi mereka adalah
sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi
suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara objektif memilih
partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional
dna kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakan tidak jelas akan
cenderung tidak di pilih. Semanatara pemilih yang lebih memetingkan ikatan ideologi suatu partai atau seorang
kontestan, akan lebih menekan kan aspek –aspek subjektivitas seperti kedetakan
nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat
kesaamaan partai politik atau calon kentastan, pemilih jenis ini akan cenderung
memberikan suaranya kepartai dan kontestan tersebut.
2.4.3 Strategi Politik
Pendekatan dan komunikasi politik perlu dilakukan
oleh para kontestan untuk dapat memenangkan pemilu. Para kontestan perlu
melakukan kajian untuk mengidentifikasi besaran (size) pendukungnya, masa mengambang dan pendukung kontestan
lainnya. Identifikasi ini perlu dilakukan untuk menganalisis kekuatan dan
potensi suara yang akan diperoleh pada saat pencoblosan, juga untuk
mengidentifikasi strategi pendekatan yang yang diperlukan terhadap
masing-masing kelompok pemilih. Strategi ini perlu dipikirkan oleh setiap
kontestan karena pesaing juga secara intens melakukan upaya-upaya untuk
memenangkan persaingan politik. Semntara itu, cara masyarakat menentukan
pilihannya juga tergantung pada karakteristik masyarakat bersangkutan. Di satu
sisi, terdapat kelompok masyarakat yang lebih menggunakan logika dan
rasionalitas dalam menimbang kontestan. Kemampuan kontestan dalam memecahkan
persoalan masyarakat menjadi titik perhatian kelompok masyarakat ini. Dipihak
lain kedekatan ideologis juga menjadi kekuatan untuk menarik pemilih kedalam
bilik suara dan mencoblos kontestan yang berideologi sama. Pemilih jenis ini
tidak begitu memedulikan program kerja apa yang ditawarkan oleh partai yang
bersangkutan. Asal ideologi partai tersebut sama dengan ideologi pemilih, sudah
alasan baginya untuk memilih kontestan ini.
2.4.4 Marketing dan Politik
Dalam
konteks inilah marketing sebagai suatu disiplin yang berkembang dalam dunia
bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik. Ilmu marketing biasanya
dikenal sebagai sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen.
Penggunaan
metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik (political marketing). Dalam marketing
politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing
untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif
dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan
ini di artikan secra luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai
dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa.
Marketing politik telah menjadi suatu fenomena,
tidak hanya dalam ilmu politik, tapi juga memunculkan beragam pertanyaan para
marketer yang selama ini sudah biasa dalam konteks dunia usaha. Tentunya
terdapat beberapa asumsi yang mesti dilihat untuk dapat memahami marketing
politik, karena konteks dunia politik memang mengandung banyak perbedaan dengan
dunia usaha.
Menurut O’shaughnessy (2001), politik berbeda dengan produk retail, sehingga
akan berbeda pula muatan yang ada diantara keduanya. Politik terkait erat
dengan pernyataan sebuah nilai (value). Jadi, isu politik bukan sekedar produk
yang diperdagangkan melainkan menyangkut pula keterikatan simbol dan nilai yang
menghubungkan individu-individu. Dalam hal ini politik lebih dilihat sebagai
aktifitas sosial untuk menegaskan identitas masyarakat.
2.4.5 Konsep Marketing Dalam Domain Politik
Tujuan marketing dalam politik adalah membantu
partai politik untuk menjadi lebih baik dalam mengenai masyarakat yang diwakili
atau menjadi target, kemudian mengembangkan program kerja atau isu politik yang
sesuai dengan aspirasi mereka, dan mampu berkomunikasi secara evekif dengan
masyarakat.
Marketing tidak bertujuan untuk masuk kewilayah
politik, dalam arti menjadi cara pendistribusian kekuasaan atau untuk
menentukan keputusan politik. Bagi marketing, semua hal tersebut sudah di
putuskan ( given). Dan yang menjadi masalah bagi marketing dalam politik adalah
mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Diluar masalah itu, marketing niscaya
dapat berkontribusi dalam politik, terutama teknik marketing untuk pengumpalan
informasi tentang semua yang terkait dengan isu dan masalah politik.
Melalui konsep dan metode riset pasar, misal nya,
dunia politik dapat melakukan proses pencarian, pengumpulan, analisis data, dan
informasi yang didapat dari masyarakat luas.
2.5 Undang-Undang Pemilu Legeslatif
Pemilihan
umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang
demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila penyelenggaraan pemilu
mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil
dan politik dari warga Negara.
Penyelenggaraan
pemilu yang lemah akan berpotensi menghambat terwujudnya pemilu yang
berkualitas. Penyelenggaraan pemilu memiliki tugas menyelenggarakan pemilu
dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Salah
satu factor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu terletak pada
kesiapan dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri, yaitu Komisi
Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan
Pemilu sebagai satu kesatuan penyelenggaraan pemilu. Ketika institusi ini telah
diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi,
tugas, dan kewenangannya masing-masing. Sehubungan
dengan penyelenggaraan pemilu 2009 yang belum berjalan secara optimal, maka
diperlukan langkah-langkah perbaikan menuju peningkatan kualitas
penyelenggaraan pemilu.
Terus
Indonesia merupakan sebuah Republik Perwakilan dimana Presiden merupakan kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan. Konstitusi Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), merupakan
landasan untuk sistem pemerintahan negara dan yang memisahkan secara terbatas
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Kejatuhan
Soeharto pada tahun 1998 dan permulaan gerakan Reformasi menghasilkan amandemen
yang signifikan terhadap Konstitusi tersebut, yang mempengaruhi ketiga
kekuasaan pemerintah, menambahkan klausa hak-hak asasi manusia yang penting,
dan memperkenalkan pertama kali konsep “pemilu” ke dalam konstitusi.
Kerangka
hukum legislatif yang mengatur perwakilan demokratis merupakan hal yang rumit
dan menyangkut beberapa undang-undang:
·
Undang-Undang 15/2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum
·
Undang-Undang 8/2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
·
Undang-Undang 42/2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden
·
Undang-Undang 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah (mencakup pemilu kepala daerah)
·
Undang-Undang 2/2011 tentang Partai
Politik
·
Undang-Undang 27/2009 tentang Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di beberapa sekolah di kabupaten Pidie,
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi politik dalam
memberikan hak suaranya, untuk mengetahui lebih lanjut dan lebih jelas lagi
digambarkan d bawah ini:
TK/RA
70 unit SD
277 unit
SMP
54 unit SMU
26 unit
SMK
8 unit MIN
53 unit
MIS
8 unit MTsN
13 unit
MTsS
13 unit MAN
8 unit
MAS
5 unit Universitas/PT
2 unit
Akademi
7 unit
Rincian Tingkat Pendidikan yang ada di Pidie ialah:
Strata
3 = 16 Jiwa Strata
2 = 462 Jiwa
Srata
1 = 12.137 Jiwa D-III
= 7.107 Jiwa
D-II
= 6.506 Jiwa SMA
= 94.284 Jiwa
SLTP
= 79.226 Jiwa SD
= 90.451 Jiwa
Tidak
Tamat SD = 64.650 Jiwa Belum
Sekolah = 88.135 Jiwa
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat perpolitikan seseorang. Dari data di atas dapat kita
simpulkan bahwa sarana pendidikan yang ada khususnya di tingkat SMA cukup
memadai. Jumlah sarana pendidikan yang ada sebanyak sangat memadai dan
mencukupi untuk menampung jumlah penduduk Kabupaten Pidie yang mencapai 422.557
Jiwa .
Hal
ini membuat calon legeslatif harus lebih cerdas dalam merebut suara di
Kabupaten Pidie, dikeranakan penduduk yang berpendidikan tinggi lebih cenderung
menjadi tipe Pemilih Rasional. Untuk itu dalam meraih suara di Kabupaten Pidie ini,
para calon tidak cukup hanya melakukan pendekatan sosiologi tetapi juga harus
mengunakan pendekatan rasional dan psikologis.
3.2
Pendekatan Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan
pendekatan induktif.
Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan
teori
dimanfaatkan sebagai pemandu
agar fokus
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena
atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dari pada merincinya menjadi variabel-variabel
yang saling terkait. Pendekatan
dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah
kerja
penelitian kualitatif. Dalam hal ini disebut kualitatif
karena sifat data yang
dikumpulkan adalah data kualitatif, yakni tidak menggunakan alat-alat pengukur. Metode kualitatif
menghasilkan data deskriptif, baik berupa
kata-
kata ungkapan tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Penelitian ini bermaksud untuk memahami sebuah fenomena tentang
apa yang dialami
oleh subjek
penelitian misalnya
perilaku,
persepsi, motivasi, tidakan dan
lain lain (Moleong, 2002: 3).
Penelitian kuantitatif mempunyai kelebihan digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang bersifat hasil dari proses yang
tidak dihentikan,
namun tidak efektif digunakan dalam penelitian yang mempersoalkan
tentang proses yang berjalan,
dinamika dan interaksi.
Penelitian
kuantitatif mempunyai
keunggulan dalam
menegakkan objektivitas.
Kebenaran
diterima secara sepakat
oleh para pengamat, sehingga kesimpulan yang dicapainya kuat.
Objektivitas itu pula yang menyebabkan kebenaran yang dihasilkan
terbuka untuk diuji kembali oleh
dunia. Dengan
begitu terdapat mekanisme saling menguji kebenaran
untuk menemukan kebenaran yang mempunyai
kekuatan tertinggi.
3.3 Informan Penelitian
Informan adalah orang yang dimanfaatkan
untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang
penelitian (Moleong,1997:157).
Pemilihan informan melalui purporsive sampling yaitu
informan yang
diwawancarai dalam penelitian
ini
adalah
orang-orang yang memiliki wawasan dan pengetahuan
mengenai topik
penelitian sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya, disamping informasi yang dijadikan subjek penelitian dapat dipertanggung
jawabkan.
Adapun yang menjadi dalam
penelitian ini adalah pelajar SMA N Sakti 10 orang, Pelajar
MAN 1 Tijue 10 orang,
pelajar SMA Beurenuen 10 0rang, pelajar SMA Keumala 10 orang, pelajar MAN Sakti 10 orang, pelajar SMA caleu 10
orang, pelajar MAN Beurenuen 10
orang, pelajar SMA lampoh saka 10 orang, pelajar SMA 1 tijue 10 orang, pelajar
SMK negeri 1 sigli, dan pelajar SMK terbue, dan Ketua KIP Pidie,
Partai Nasional 3 orang,
Partai Lokal 3 orang, Ketua Panwaslu, Kepala sekolah, Guru 4 0rang, Orang tua 4 orang.
3.4 Sumber Data
Data dalam
penelitian ini diperoleh dengan
melakukan penelitian kepustakaan (library research)
dan
penelitian
lapangan (field research).
a.
Data primer dengan mewawancarai
para
pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan
pengamatan berperan serta wawancara dengan
responden dan
informan.
b. Data sekunder yang
dilakukan untuk mempelajari buku-buku teks, teori- teori,
peraturan perundang-undangan, artikel-artikel, tulisan-tulisan ilmiah
yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Untuk
memperoleh data atau informasi,
keterangan-keterangan data
yang diperlukan, peneliti
menggunakan
metode-metode sebagai berikut:
1.
Wawancara.
Wawancara merupakan kegiatan pengumpulan data dengan teknik
tanya jawab antara
dua orang yang
dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan tujuan penelitian. Teknik tanya jawab
berlangsung melalui kontak secara langsung, baik secara lisan maupun
tatap
muka
dengan informan. Dalam penelitian
kualitatif
digunakan pedoman wawancara mendalam yang berarti pertanyaan telah disiapkan sebelumnya, tetapi daftar pertanyaannya
tidak mengikuti jalannya wawancara.
Daftar wawancara
digunakan agar
arah wawancara tetap terkendali
dan tidak menyimpang dari
pokok permasalahan penelitian. Wawancara
dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi
menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian.
Wawancara dilakukan kepada
informan yang dianggap
menguasai masalah
penelitian.
Pedoman wawancara
(interview guide), yaitu serangkaian pedoman wawancara yang
digunakan sebagai alat untuk mengajukan pertanyaan
kepada informan.
Dalam penelitian
ini digunakan
pedoman wawancara dengan pertanyaan terbuka yang
memungkinkan setiap pertanyaan
berkembang ke arah yang lebih
spesifik.
2.
Observasi
Observasi diartikan
sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian (Hadari Nawawi, 1993: 100). Dalam metode observasi penulis melakukan pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah,
sehingga diperoleh pemahaman
atau sebagai
alat pembuktian terhadap informasi yang diperoleh sebelumnya sambil mencari informasi mengenai
permasalahan yang sedang diteliti.
3.
Dokumentasi dan Keperpustakaan
Suharsimi
Arikunto (2002:
206) metode
dokumentasi adalah
mencari data yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.
Hadari Nawawi
(2005: 133) menyatakan bahwa
studi dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa
arsip-arsip dan
termasuk juga buku mengenai
pendapat, dalil
yang berhubungan dengan masalah
penyelidikan.
3.6 Teknik Analisis
Data
Tahap
analisis
data adalah melakukan analisis
teks yang meliputi stuktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan
fungsi.
Tahap
analisis
ini bertujuan untuk melakukan
penulisan
laporan
pada tahap selanjutnya.
Analisis yang
dilakukan ini tidak terlepas
dari
rujukan dan
penggunaan teori- teori yang relevan serta penelitian sebelumnya yang mempunyai pertalian dengan penelitian ini.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan dipadukan untuk kemudian dianalisis
dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif
digunakan untuk menghasilkan data deskiptif
analitis dari yang
dinyatakan oleh responden dan informan secara tertulis atau
yang dipelajari
dan
diteliti
sebagai
suatu kesatuan yang
utuh dengan
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Asfar, M. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya:
Pustaka Utama. 2004.
Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
Miriam Budiarjo,1998. DasarDasarIlmuPolitik. Jakarta:,Gramedia Pustaka Utama
Macridis, Roy C.
dan Bernard
E.
Brown. 1996.
Perbandingan Politik.
Jakarta:
Erlangga
Miriam Budiarjo,1998. DasarDasarIlmuPolitik. Jakarta:,Gramedia Pustaka Utama
Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
Gabriel A. Almond, 2000. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in
Five Nations. Sidney :verba
Ramlan Subakti.1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
Rusadi Kantaprawira.2004.
Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar:
Bandung: Sinar Baru Algensindo
Rusadi Kantaprawira.2004.
Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar:
Bandung: Sinar Baru Algensindo
Moleong.2002. Metedologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.Bandung:PT.Remaja
Rosdakarya
Nawawi,
Hadari.
1987. Metodologi
Bidang
Sosial. Yogyakarta: Gajah
Mada University
Suharismi
Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta, Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan